“Sungai seperti Ciliwung itu jorok dan kumuh. Itu kesan pertama saya saat mendengar kata Ciliwung,” ujar Mardi (29), warga Daan Mogot Jakarta Barat.
“Kalau Angke kotor dan bau, kayaknya kawasan yang ‘ga banget’ deh. Yang ada di dalam benak saya bila mendengar nama kali Cipinang adalah banjir,” Rosmaida (36) pegawai di suatu perkantoran Jakarta Timur.
Kesan dua warga tersebut mungkin mewakili pendapat masyarakat tentang sungai di Jakarta. Sungai lebih dilihat sebagai masalah.
Padahal, seperti dikemukakan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Ubaidillah, seluruh sungai yang dilalui oleh Banjir Kanal Timur, seperti kali Cipinang, punya berbagai potensi bagus.
“Sebenarnya sungai di Jakarta bisa jadi air baku. Selain itu, karena volume besar, strategis, bisa jadi waterway, serta jalur hijau," kata Ubaidillah kepada Antaranews.com.
Dia mengemukakan sungai di Jakarta pada kenyataannya bermasalah antara lain karena sampah yang tersebar di kali tidak pernah bisa dikelola dengan baik. Menurut dia, seharusnya pemerintah daerah membangun beberapa shelter sampah di sepanjang kali agar ada saringan yang dapat mengangkut sampah.
Di sisi lain, warga juga masih "memegang budaya" buang sampah ke sungai. Air yang mengalir tak ubahnya "tong sampah" yang seketika "mengangkut sampah" pergi dari lingkungan warga.
Contohnya seperti Rendi (16) seorang siswa SMU negeri di Jakarta Pusat. Dia pada Rabu (12/10) di halte busway Harmoni terlihat membuang sampah berupa sobekan tiket bus TransJakarta ke sungai.
“Habisnya banyak yang buang sampah langsung ke sungai.Jadi saya ikutan buang juga,” ujar Rendi yang berpendapat bahwa imbauan "buang sampah pada tempatnya" belum banyak diikuti masyarakat.
Selain Rendi ada pula Gatot (40) yang membuang kemasan makanan ringan milik anaknya ke sungai di bawah halte busway Harmoni.
“Yang lain juga buang sembarangan. Lagian kalau banjir yang salah bukan saya saja, saya nyampah di sini kok, banjirnya di tempat lain,” ujar Gatot.
Menurut Ubaidillah, menyampah sembarangan memang merupakan kebiasaan sebagian besar masyarakat. Dia mengemukakan bahwa jika cara untuk mengikis kebiasaan buruk itu dilakukan dengan "menakut-nakuti" dengan ancaman banjir serta air kotor, masyarakat cenderung membuat pembenaran atas tindakan mereka.
"Bisa saja warga berargumentasi bahwa bukan dirinya saja yang membuang sampah sembarangan,” ujar Ubaidillah.
Hal ini menurut Ubaidillah, terjadi karena warga tidak mengalami langsung dampak membuang sampah ke sungai.
denda
Pada pertengahan bulan Mei 2011 terdapat wacana dari Pemerintah DKI Jakarta untuk memberikan denda kepada masyarakat yang membuang sampah di kali atau sungai. Peraturan ini akan mulai diterapkan pada 2012.
Menurut Ubaidillah, pihaknya menyambut langkah pemerintah provinsi tersbut, “Tapi, pada kenyataannya apakah peraturan itu dapat dijalankan dengan baik? aparat adalah juga warga, apakah mereka sendiri tak buang sampah sembarangan?,” ujarnya.
Ubaidillah mengemukakan sudah ada peraturan pemerintah sayang sangat baik untuk mencegah masyarakat membuang sampah sembarangan.
“Sudah ada Undang-undang 18 tahun 2008 tentang persampahan nasional. Undang-undang ini sudah sah, tapi sampai saat ini belum ada turunannya, baik dalam benntuk peraturan daerah ataupun peraturan pemerintah. Seharusnya sudah ada. Tinggal implentasi saja yang terpenting, bukan hanya peraturan tertulis.”
Dia mengemukakan, cara yang paling baik adalah terus mensosialisasikan soal tertib membuang sampah.Kampanye harus berkelanjutan mulai dari tingkat Rukun Tetangga.
“Sosialisasi ini haru menyentuh semua kalangan bahkan masyarakat di kampung-kampung sekalipun, karena sumber sampah terbanyak berasal dari pemukiman, perkantoran serta pasar,” katanya.
Pemerintah menurut dia juga harus mendukung masyarakat yang ingin membuang sampah pada tempatnya.
“Kalau perlu sediakan tempat sampah di dekat kali. Supaya masyarakat tidak beranggapan bahwa kali adalah tempat sampah raksasa di Jakarta.”
(SDP-02)
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011