"Indonesia lambat laun akan terkena pengaruh krisis Eropa dan AS jika masih berlarut-larut penyelesaiannya, meski pengaruhnya tidak akan besar dibandingkan negara-negara Asia lainnya," ujarnya di Jakarta, Rabu.
Ia mengemukakan, ada empat hal yang membuat Indonesia akan terkena imbas krisis dari Eropa dan AS jika terus berlarut-larut.
"Ke empat hal itu, masih berlangsungnya krisis keuangan yang terjadi di Eropa, krisis keuangan AS, terjadinya asset bubble, dan menurunnya permintaan pada sektor komoditas," ujarnya.
Meski demikian, lanjut dia, pertumbuhan investasi di Indonesia diyakini masih akan tetap tumbuh setiap tahunnya hingga 15 persen.
Sementara itu, Chief Economist CIMB Niaga, Winang Budoyo, mengatakan bahwa krisis Eropa dan AS memicu pelarian modal asing dari dalam negeri.
"Larinya modal asing keluar dari Indonesia membuat cadangan devisa yang sempat mencapai level tertingginya di kisaran 125 miliar dolar AS pada akhir Agustus 2011 tergerus hampir 10 miliar dolar AS menjadi 114,5 miliar dolar AS di akhir September 2011," katanya.
Ia mengharapkan, kondisi yang terjadi saat ini hanya sesat, apalagi efek dari krisis global belum menyentuh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
"Ketika ketidakpastian dan kepanikan berkurang maka dana-dana asing akan kembali memasuki Indonesia," ujarnya.
Ia mengatakan, pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah penyebaran krisis global salah satunya intervensi pada nilai tukar rupiah agar tetap stabil.
"Meski pelemahan rupiah mampu mendongkrak kinerja ekspor Indonesia, namun dampaknya tidak terlalu signifikan bagi perekonomian Indonesia," ujarnya.
Ia mengungkapkan, berdasarkan hasil stress test perbankan yang dilakukan BI ada temuan bahwa perbankan Indonesia merupakan salah satu sektor yang relatif kuat dalam menghadapi goncangan krisis.
"Ini seperti blessing in disguise dalam arti perbankan bisa memanfaatkan kondisi ini untuk mencapai target pertumbuhnnya," ujarnya. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011