Jakarta (ANTARA) - Saat ini, pembangunan yang merata merupakan suatu utopia. Keadaan tersebut tidak hanya berusaha diwujudkan oleh negara-negara berkembang, tetapi juga oleh berbagai negara maju.

Mereka masih berjuang untuk menghapuskan kesenjangan yang terdapat di masing-masing negara guna mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih harmonis.

Semangat untuk menghapuskan kesenjanganlah yang kemudian menjadi dorongan terbentuknya 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals. Berbagai negara di seluruh belahan dunia saling bahu-membahu untuk mewujudkan dunia tanpa kesenjangan.

Sejak Presiden RI Joko Widodo menjadi sosok nomor satu di Negara Kesatuan Republik Indonesia, berbagai upaya nyata untuk menghapuskan kesenjangan telah ia torehkan. Pembangunan infrastruktur berlangsung di berbagai tempat terpencil sebagai wujud keseriusan dari komitmen Pemerintah dalam meningkatkan akses.

Sebagaimana yang dituliskan oleh seorang pakar ekonomi Claudia Berg, jalan merupakan nadi bagi denyut pembangunan ekonomi.

Kemampuan Presiden Jokowi dalam mewujudkan pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah terpencil merupakan bentuk kuatnya kewenangan pemerintah pusat dalam mengelola daerah-daerah terdepan, terpencil, dan terluar Indonesia.

Akan tetapi, meski melalui berbagai inovasi yang telah dilancarkan oleh pemerintah pusat, peningkatan kesejahteraan di wilayah terdepan, terpencil, dan terluar Indonesia masih belum signifikan.

Berdasarkan data Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi dan Daerah yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 17 Januari 2022, lima provinsi dengan keparahan kemiskinan tertinggi adalah Papua Barat (2,18 persen), Papua (2,05 persen), Nusa Tenggara Timur (1,44 persen), Maluku (1,06 persen), dan Aceh (0,81 persen).

Seluruh persentase keparahan kemiskinan tertinggi pada lima provinsi tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan semester sebelumnya. Misalnya, Papua Barat pada semester sebelumnya (Maret 2021) berada di angka 1,96 persen, lantas mengalami peningkatan menjadi 2,18 persen pada semester selanjutnya, yaitu September 2021.

Melihat kesenjangan kesejahteraan yang terjadi di daerah terdepan, terpencil, dan terluar Indonesia, Profesor Riset Bidang Politik dan Pemerintahan, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro berpandangan bahwa hal tersebut akibat ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat.

Baca juga: Kemenkeu: Pembangunan IKN akan berimplikasi ratakan kesejahteraan

Baca juga: Kominfo percepat pembangunan infrastruktur digital sepanjang 2021


Kewenangan Pemda

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, menurut Siti Zuhro, menghasilkan ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat.

Undang-undang tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas pada pemerintah pusat untuk mengelola wilayah perbatasan. Keadaan tersebut dicerminkan pada Pasal 10 ayat (1) huruf a—j UU 43/2008 yang memaparkan berbagai kewenangan pemerintah pusat dalam mengelola wilayah negara dan kawasan perbatasan.

Menurut Siti Zuhro, UU tersebut mengakibatkan pemerintah daerah memiliki keterbatasan atau kewenangan yang tidak memadai untuk mengelola wilayah mereka.

Meski kewenangan pemerintah pusat bertujuan untuk membangun kawasan perbatasan secara berimbang, terpadu, dan komprehensif untuk kesejahteraan rakyat, serta untuk menjamin keselarasan antara wilayah yang satu dengan yang lainnya, terdapat permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah daerah tanpa perlu melalui tahapan birokrasi yang berbelit.

Khususnya, kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh daerah perbatasan. Permasalahan tersebut membutuhkan penyelesaian secara komprehensif yang mencakup beberapa aspek, seperti batas wilayah negara, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, sumber daya alam dan lingkungan, kelembagaan, hingga pembangunan kapasitas.

Kompleksitas permasalahan tersebut, kata Siti, membutuhkan respons yang cepat, tangkas, dan solutif. Bagi pemerintah pusat yang berada jauh dari jangkauan pemerintah daerah, tentunya akan lebih sulit untuk memberi respon yang diperlukan dalam hal mengatasi permasalahan tersebut.

Oleh karena itu, Siti Zuhro memandang penting bagi pemerintah daerah untuk memiliki kewenangan yang sama kuatnya dengan pemerintah pusat dalam hal mengelola wilayah mereka.

Baca juga: Bappenas: Pemindahan IKN pastikan Indonesia Emas 2045 tercapai

Baca juga: Ahmad Doli: Pemindahan IKN momentum percepat pemerataan pembangunan


Harmonisasi Peraturan

Untuk menghadirkan kemajuan daerah-daerah terdepan, terpencil, dan terluar, terutama untuk daerah perbatasan, menurut Siti Zuhro, ​​​​​​tidak cukup apabila Pemerintah Pusat hanya menambah anggaran dan menggalakkan pembangunan.

Pemerintah Pusat harus menjamin kepastian peraturan yang menjadi payung dan rujukan teknis dalam melaksanakan urusan-urusan yang menjadi kewenangan daerah perbatasan. Dengan demikian, harmonisasi perundang-undangan menjadi hal yang dibutuhkan oleh Indonesia.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan akan memberi kejelasan dan kepastian bagi pemerintah daerah untuk menjalankan tugasnya.

Terdapat dua undang-undang utama yang menjadi rujukan bagi Siti Zuhro, yakni Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut Siti, beberapa hal yang harus ditegaskan adalah pengaturan mengenai status daerah perbatasan sebagai urusan pemerintahan umum yang melibatkan kelembagaan antarkementerian dan lembaga, dan bersifat vertikal antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Usul tersebut memiliki keterkaitan dengan Pasal 9 UU 43/2008 yang menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan keterbatasan.

Mengenai pendanaan, Siti Zuhro mengatakan bahwa selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pendanaan juga perlu melibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari masing-masing daerah perbatasan, serta APBDesa.

Lebih lanjut, ia juga mengusulkan perlunya perubahan produk hukum daerah dan refocusing untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum (PUM), terlebih tentang penanganan masalah krusial daerah perbatasan.

Rekomendasi lainnya adalah tambahan materi untuk pemerintah daerah terkait dengan pemberdayaan masyarakat, wawasan kebangsaan, tata kelola pemerintahan yang baik, daya saing daerah, inovasi pelayanan publik, dan sosialisasi digitalisasi birokrasi.

Melalui peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, Siti Zuhro yakin daerah terdepan, terpencil, dan terluar Indonesia dapat berkembang.

Bagi Siti Zuhro, kemandirian pemerintah daerah dan masyarakatnya merupakan kunci bagi kemajuan suatu daerah, terutama daerah yang terletak jauh dari jangkauan pemerintah pusat.

Akan tetapi, sebagai negara kesatuan, prinsip pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah tetap harus memperhatikan keutuhan NKRI. Indonesia yang merupakan negara kesatuan tidak mengenal pembagian daerah secara jelas atau clear cut seperti dalam sistem negara federal.

Daerah-daerah di Indonesia merupakan satu kesatuan, kata Siti. Oleh karena itu, daerah-daerah di Indonesia tidak terbagi dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari NKRI.

Dengan demikian, kebersamaan dan keselarasan bertindak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan elemen yang sangat penting. Hal ini untuk mencegah ketergantungan yang berlebih. Namun, tidak melepaskan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022