Jakarta (ANTARA) - Indonesia kaya dengan nilai-nilai budaya yang tidak dimiliki bangsa lainnya. Salah satu kekuatan budaya yang telah mengakar di kehidupan bermasyarakat adalah gotong royong.

Warisan budaya tak benda tersebut berlaku di setiap aspek kehidupan masyarakat, mulai dari acara pernikahan, kematian membangun rumah hingga membangun tempat ibadah dilakukan secara bersama-sama. Tidak hanya terjadi pada satu wilayah Indonesia saja, tetapi merata terjadi di seluruh Indonesia.

Masyarakat Suku Minahasa mengenal budaya Mapalus. Dalam buku Baku Beking Pande karya HN Sumual dijelaskan bahwa Mapalus berasal dari kata palus yang memiliki makna menuangkan dan mengerahkan.

Dengan demikian Mapalus berarti sikap dan tindakan yang didasarkan pada kesadaran akan keharusan untuk beraktivitas dengan menghimpun daya atau kekuatan masyarakat untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Seorang warga dari Suku Minahasa, Mesyia, mengatakan budaya mapalus tersebut merupakan yang sudah melekat dan tidak bisa dipisahkan dari aktivitas masyarakat. Budaya tersebut pada mulanya pada bidang pertanian, yang mana masyarakat saling gotong royong dalam menanam maupun memanen hasil pertanian.

Pada hari yang ditentukan, setiap anggota masyarakat datang ke lokasi yang ditentukan dan bekerja hingga waktu yang ditentukan. Jika ada yang tidak hadir, maka akan diberikan sanksi.

“Lambat laun kegiatan ini berkembang, tidak hanya untuk pertanian tapi juga kegiatan lain seperti kematian, perkawinan, hingga membangun rumah,” kata dia.

Mapalus tidak hanya menyumbang tenaga, tetapi juga bisa menyumbang makanan ataupun memberikan uang. Budaya mapalus tersebut bertahan hingga saat ini dan menyebar ke sebagian besar wilayah Sulawesi Utara.

“Bahkan saking tak terpisahnya, di gedung-gedung di Manado itu selalu ada nama ruangan bernama Mapalus. Ini menunjukkan bahwa Mapalus tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat di sini,” ujar dia lagi.

Baca juga: G20 Indonesia dorong semangat gotong royong negara G20 atasi pandemi

Baca juga: Menko PMK: Gotong-royong salah satu wujud praktis demokrasi

Beganjal

Lain di Minahasa, lain pula di wilayah Kepulauan Riau. Masyarakat Melayu Kepulauan Riau mengenal istilah Beganjal yakni tradisi gotong royong yang tak lekang oleh zaman. Masyarakat bersama-sama mempersiapkan keperluan baik untuk pesta perkawinan maupun kegiatan lainnya.

“Masyarakat yang datang tidak akan mendapatkan upah, tuan rumah hanya menyiapkan makanan dan minuman saja,” kata seorang warga Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Niko Pratama.

Niko menjelaskan masyarakat bersama-sama mempersiapkan keperluan seperti memasak, menyiapkan bumbu makanan, berbelanja hingga pada hari H pelaksanaan pesta. Tidak hanya laki-laki, perempuan turut terlibat dalam tradisi itu.

Pada masyarakat Melayu di Bangka Belitung juga mengenal tradisi Nganggung atau yang dikenal dengan istilah Sepintu Sedulang. Disebut Sepitung Sedulang, karena setiap rumah minimal membawa satu dulang atau wajan yang digunakan untuk membawa makanan pada acara-acara keagamaan ataupun pada acara perkawinan maupun rasa syukur setelah panen.

Warga Sungai Liat, Farida, mengatakan pada tradisi Nganggung masyarakat membawa makanan ke masjid atau surau atau balai desa. Masing-masing rumah memberikan satu dulang atau wadah makanan yang berisi lauk pauk, kue dan buah-buahan. Tradisi itu juga dilakukan pada acara sosial kemasyarakatan lainnya yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat di kampung.

“Kalau di daerah, tradisi gotong royong itu masih sangat kental. Beda halnya dengan di kota besar, yang mana tradisi gotong royong sudah mulai luntur karena kesibukan masing-masing.” kata Farida.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid, mengatakan nilai-nilai gotong royong merupakan warisan budaya tak benda yang tak ternilai harganya. Nilai gotong royong harus dijaga secara bersama-sama agar tak hilang.

Hilmar menjelaskan bahwa semangat gotong royong dapat menentukan seberapa cepat bangsa Indonesia dapat menyelesaikan segenap masalah yang sedang dialami. Kemampuan berkolaborasi dan mengesampingkan perbedaan juga diperlukan.

Semangat gotong-royong harus diajarkan melalui praktik nyata dan bukan sekadar wacana. Caranya, bisa melalui kegiatan-kegiatan yang bernuansa kerja sama, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Hilmar menambahkan nilai gotong royong semakin teruji saat menghadapi masa sulit. Pada masa pandemi COVID-19 misalnya, masyarakat Indonesia semakin menampakkan sifat gotong royongnya.

Begitu juga saat bencana terjadi di beberapa daerah. Masyarakat bahu-membahu meringankan beban, tidak hanya dari sisi tenaga, tetapi juga waktu, bahan makanan, dan juga uang.

Dengan semangat gotong royong itu, masyarakat dapat dengan mudah melewati masa-masa sulit sekalipun. Gotong royong juga membuat masyarakat dapat bangkit bersama dari keterpurukan akibat COVID-19.

“Pandemi ini menyadarkan kita bahwa nilai-nilai budaya bangsa kita, seperti gotong royong itu sangat diperlukan untuk pulih dan bangkit bersama,” kata Hilmar.

Bahkan Presidensi G20 Indonesia 2022 juga mengangkat tema “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama”. Tema tersebut terinspirasi dari salah satu nilai dasar bangsa Indonesia yang menjadi budaya bangsa, yaitu gotong royong.

Nilai luhur bangsa Indonesia tersebut, menjadi pijakan dasar bagi Kelompok Kerja Pendidikan G20 (Education Working Group/EdWG) dalam menuntaskan masalah pendidikan dan kebudayaan global. Forum G20 menjadi momentum bagi Indonesia untuk bersama-sama dengan anggota G20 membantu persoalan ketimpangan akses pendidikan yang berkualitas dalam pemulihan pascapandemi.*

Baca juga: Merawat tradisi Gemohing untuk kemandirian ekonomi petani di Adonara

Baca juga: G20 EdWG: Solidaritas kunci utama dukung kebangkitan dunia pendidikan

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022