Singapura (ANTARA) - Harga minyak jatuh di perdagangan Asia pada Kamis sore, di tengah berita bahwa Amerika Serikat sedang mempertimbangkan pelepasan hingga 180 juta barel dari cadangan minyak strategisnya, yang terbesar dalam hampir 50 tahun sejarah SPR (Strategic Petroleum Reserve).
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei anjlok 4,11 dolar AS atau 3,6 persen, menjadi diperdagangkan di 109,34 dolar AS per barel pada pukul 06.37 GMT. Kontrak Mei berakhir pada Kamis dan kontrak berjangka Juni yang paling aktif diperdagangkan turun 4,36 dolar AS pada 107,08 dolar AS, setelah sebelumnya jatuh lebih dari 6 dolar AS.
Kontrak berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Mei terpuruk 5,33 dolar AS atau 4,9 persen, menjadi diperdagangkan di 102,49 dolar AS per barel setelah menyentuh level terendah 100,85 dolar AS.
Presiden AS Joe Biden akan memberikan komentar pada Kamis mengenai tindakan pemerintahannya yang bertujuan untuk menurunkan harga bensin yang telah naik ke rekor tertinggi sejak Rusia memulai invasi ke Ukraina.
Rilis seperti itu akan membantu pasar minyak untuk menyeimbangkan kembali pada 2022 dengan meningkatkan pasokan sebesar 1 juta barel per hari (bph) selama enam bulan, kata analis Goldman Sachs dalam sebuah catatan.
"Namun, ini akan tetap menjadi pelepasan persediaan minyak, bukan sumber pasokan yang terus-menerus untuk tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, pelepasan seperti itu tidak akan menyelesaikan defisit pasokan struktural bertahun-tahun."
Negara-negara anggota Badan Energi Internasional (IEA) dijadwalkan bertemu pada Jumat (1/4/2022) pukul 12.00 GMT untuk memutuskan pelepasan minyak kolektif, juru bicara menteri energi Selandia Baru mengatakan pada Kamis.
Berita tentang potensi rilis AS membayangi pertemuan yang ditetapkan pada Kamis antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu termasuk Rusia. Kelompok yang dikenal sebagai OPEC+ diperkirakan akan tetap pada kesepakatannya untuk meningkatkan produksi minyak secara bertahap.
Pelepasan minyak AS bisa efektif dalam mengurangi volatilitas liar dan membatasi pergerakan ke atas yang tajam, tetapi harga membutuhkan solusi jangka panjang, kata Avtar Sandu, manajer komoditas di Phillip Futures.
Minyak naik sekitar 3,0 persen pada Rabu (30/3/2022) karena pembicaraan damai terhenti antara Ukraina dan Rusia, yang menyebut tindakannya sebagai "operasi militer khusus".
Rusia adalah pengekspor minyak terbesar kedua di dunia dan sanksi Barat yang dijatuhkan sebagai hukuman atas invasi telah mengganggu aliran dari negara itu.
Pada awal Maret, pemerintahan Biden mengatakan akan menjual 30 juta barel dari cadangan strategisnya sebagai bagian dari pelepasan global 60 juta barel untuk menurunkan harga.
Pada November Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk melepaskan 50 juta barel dari SPR, sebagian besar melalui bursa di mana pembeli setuju untuk mengganti minyak nanti.
"Jika ternyata sebanyak itu, itu akan signifikan dan tentu saja akan membantu sampai batas tertentu untuk mengisi kekurangan, tetapi tidak semuanya," kata Warren Patterson, kepala strategi komoditas di ING, mengacu pada angka 180 juta barel.
"Pertanyaan kunci lainnya adalah apakah volume ini akan menjadi bagian dari rilis terkoordinasi yang lebih luas. Saya kira kita juga perlu melihat apakah ini akan menjadi rilis langsung atau pertukaran."
Rilis itu terjadi setelah persediaan minyak komersial AS turun 3,4 juta barel dalam pekan hingga 25 Maret, melampaui perkiraan penurunan 1 juta barel. Pada saat yang sama, permintaan tersirat untuk bensin dan sulingan menurun.
Permintaan yang lebih lambat datang karena produksi AS naik 100.000 barel per hari menjadi 11,7 juta barel per hari setelah stagnan pada 11,6 juta barel per hari sejak awal Februari.
Baca juga: Harga minyak berbalik naik di tengah pasokan ketat dan prospek sanksi
Baca juga: Arab Saudi bisa naikkan harga minyak ke Asia hingga tertinggi pada Mei
Baca juga: Harga minyak melonjak karena persediaan AS menurun
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022