Sanaa (ANTARA News) - Seorang juru bicara oposisi hari Minggu mendesak Dewan Keamanan PBB mengatasi kebuntuan politik di Yaman dan mencemooh pernyataan Presiden Ali Abdullah Saleh bahwa ia siap mengundurkan diri.

Mohammed Qahtan, juru bicara oposisi parlemen Forum Bersama, mengatakan, upaya regional untuk mengatasi krisis politik yang telah berlangsung berbulan-bulan di Yaman, khususnya oleh negara-negara tetangga di kawasan Teluk, telah mencapai kebuntuan, lapor AFP.

PBB, khususnya Dewan Keamanan, akan "lebih efektif" mengakhiri krisis itu dan "melanjutkan upaya-upaya regional" yang sudah dilakukan, katanya kepada AFP dalam wawancara telefon.

Qahtan menyampaikan hal itu menjelang penyampaian laporan utusan Yaman untuk PBB Jamal Benomar yang direncanakan Selasa mengenai kegagalannya mencapai kesepakatan mengenai perjanjian Dewan Kerja Sama Teluk bagi penyerahan kekuasaan di Yaman.

Dalam pernyataan yang disiarkan televisi pada Sabtu, Saleh mengatakan, "Saya tidak menginginkan kekuasaan dan saya akan menyerahkannya dalam beberapa hari mendatang."

Oposisi mengecam pernyataan itu sebagai kebohongan karena Saleh telah beberapa kali menyatakan akan mengundurkan diri namun kemudian menolak melakukan hal itu.

"Tidak ada yang baru (dalam pernyataan Saleh)... Saleh tidak akan pernah mau menyerahkan kekuasaan," kata Qahtan.

Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan ratusan orang.

Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaeda, kehilangan dukungan AS.

Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.

Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.

Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaeda akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.

Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini.
(M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011