Di atas mobil komando itu, Sabam berdiri sebagai satu-satunya demonstran tertua yang semangat juangnya tak mengenal usia.

Jakarta (ANTARA) - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyebutkan sosok Sabam Sirait sebagai literatur demokrasi, hak asasi manusia (HAM), kebinekaan, dan keadilan yang patut dipelajari dan diteladani.

"Di sini kita hadir mengenang perjalanan hidup dan darma bakti mantan anggota DPD RI Bapak Sabam Sirait, tokoh bangsa yang banyak jasanya bagi pembangunan demokrasi, penegakan HAM dan keadilan, serta pelestarian nilai-nilai kebinekaan bagi keutuhan bangsa ini," kata LaNyalla dalam keterangannya di Jakarta Senin.

LaNyalla menyampaikan itu saat memberikan sambutan secara virtual pada diskusi publik GMKI dengan tema "Sabam Sirait dalam Berjuang bagi Demokrasi dan HAM di Indonesia".

Wakil rakyat asal Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur itu mengatakan bahwa Sabam Sirait memiliki perjalanan karier politik yang panjang selama 63 tahun, melintasi masa jabatan tujuh presiden, melewati pergolakan dan perubahan dalam sejarah bangsa, sampai pergi untuk selamanya pada usia 85 tahun.

LaNyalla mengutip pernyataan Jenderal Amerika Douglas McArthur yang mengatakan, "Old soldiers never die, they just fade away." Veteran sejati tak pernah mati, mereka hanya menghilang.

"Mereka menghilang untuk masuk ke dalam ingatan. Akan tetapi, semangat mereka tak pernah mati. Seperti itu Sabam Sirait di hati saya," kata LaNyalla.

Jika Sabam Sirait merupakan literatur demokrasi, HAM, kebinekaan, dan keadilan, menurut dia, bukan tanpa alasan. Ketika Panglima ABRI mengadakan rapat tertutup membahas kewenangan menumpas G-30-S/PKI, hadir di sana politikus muda bernama Sabam Sirait sebagai wakil dari Parkindo.

Pada masa itu, kata dia, tidak ada orang yang berani berbicara tentang demokrasi. Akan tetapi, Sabam mengusulkan agar perlu melibatkan berbagai komponen masyarakat dalam memberantas PKI.

Menurut LaNyalla, ada dua hal dalam pikiran Sabam Sirait, yang ketika itu baru berusia 29 tahun. Pertama, menyelesaikan persoalan harus secara demokratis.

Kedua, lanjut dia, dalam kondisi seperti itu pun, hak asasi manusia perlu dipertimbangkan. Sikap seperti itu memang terlalu berani dan nekat pada masa itu sebab bisa saja dianggap melawan tentara yang sedang marah.

"Akan tetapi, Sabam konsisten dengan pendapatnya meskipun ditentang semua orang. Sekarang baru kita mengerti, betapa pentingnya penegakan demokrasi dan hak asasi manusia untuk mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan," ucapnya.

LaNyalla menyebutkan Sabam Sirait meninggalkan tiga keteladanan, yaitu berpikir demokratis, peduli hak asasi, dan konsistensi sikap dalam berpolitik. Ketiga prinsipnya itu dipertahankan selama 63 tahun berkiprah di dunia politik Indonesia.

LaNyalla juga menyebut Sabam Sirait sebagai literatur kebinekaan. Satu contoh ketika terjadi penyerangan pasukan Israel terhadap warga sipil di Palestina.

Sabam berdiri di atas mobil komando, di antara ribuan demonstran dari Partai Keadilan Sejahtera yang memadati jalan-jalan di Jakarta.

"Dengan suara menggelegar meskipun serak-serak termakan usia, Sabam menyerukan penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Palestina demi keadilan dan nasib warga Palestina yang teraniaya tanpa pertolongan selama puluhan tahun," kata LaNyalla.

Di atas mobil komando itu, Sabam berdiri sebagai satu-satunya demonstran tertua yang semangat juangnya tak mengenal usia.

Sabam sedang menunjukkan kepada bangsa ini, sekaligus menorehkan legacy-nya dalam literatur politik kebinekaan bahwa perjuangan menegakkan keadilan dan hak asasi manusia tidak mengenal sekat-sekat rasial, etnis, agama, kelompok, atau tembok kepentingan apa pun. Itulah, kata LaNyalla, nilai kebinekaan yang mulia, yang patut diteladani.

Sabam memberikan keteladanan tentang bagaimana seharusnya seorang politikus yang berlatar belakang kristiani semestinya berposisi dan bersikap di tengah pluralitas bangsa ini, duduk bersama dengan semua golongan, dan berdiri bagi kepentingan bangsa meskipun berjalan di jalur partai politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.

"Sikap negarawan seperti itu jarang ditemukan pada masa sekarang. Kita sekarang memiliki terlalu banyak politikus tetapi terlalu sedikit negarawan," ujar LaNyalla.

LaNyalla juga menjelaskan alasannya menyebut Sabam Sirait sebagai literatur keadilan karena pada masa Orde Baru jarang ada politikus yang berani bersuara lantang melawan praktik-praktik monopoli.

Baca juga: Sabam Sirait menjadikan politik sebagai panggilan hidup

Baca juga: Wali Kota Medan dukung Sabam Sirait jadi pahlawan nasional

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022