Jakarta (ANTARA) - Kaku pada leher menjadi satu tanda khas kala seseorang termasuk pada anak mengalami meningitis, ungkap Dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Vonny Ingkiriwang, Sp.A.
"Yang khas karena ini menyerang ke selaput otak, kita bisa lihat adanya kaku pada leher. Kalau kita menekukkan kepala sambil dia rebah, tidak bisa, karena terjadi kekakuan. Di sini kita bisa menduga anak sudah mengalami meningitis dan ini sangat berat," kata dia dalam sebuah webinar kesehatan, dikutip Senin.
Gejala meningitis juga bisa terlihat dari sulitnya pasien melihat sinar dan merasa silau, terlihat seperti bingung karena infeksi di kepalanya menyebabkan sakit kepala berat dan terkena demam tinggi.
"Untuk memastikannya biasanya kami melakukan pemeriksaan cairan sumsum tulang," tutur Vonny.
Baca juga: Setahun mengenang Glenn Fredly, ketahui gejala meningitis pada anak
Meningitis merupakan peradangan pada cairan dan selaput (meninges) yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang Anda, salah satu penyebabnya bakteri Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) yang juga bisa menyebabkan pneumonia bila menyerang paru.
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan pulmonologi dr. Herikurniawan Sp.PD, KP, FINASIM mengatakan, bakteri Streptococcus pneumoniae normalnya berada di hidung dan tenggorokan. Tetapi saat dia keluar misalnya teraspirasi masuk ke dalam paru-paru maka menyebabkan terjadinya pneumonia.
"Kalau bakteri masuk ke darah mampir ke selaput otak menyebabkan meningitis. Kalau masuk ke telinga menyebakan infeksi pada telinga," kata dia yang yang berpraktik di RSCM-FKUI itu.
Dari sisi penularan, bakteri bisa ditularkan dari orang yang terinfeksi pada orang lain melalui droplet misalnya saat dia batuk dan bersin seperti COVID-19 dan TB paru.
"Makanya pentingnya orang dianjurkan pakai masker ketika sakit. Ketika dia berbicara atau batuk, kuman dapat tertampung di masker sehingga tidak menyebar di udara," ujar Herikurniawan.
Berbicara kelompok berisiko terinfeksi bakteri Streptococcus pneumoniae sebagai salah satu penyebab pneumonia, maka anak kurang dari usia 2 tahun termasuk salah satunya. Alasannya karena, antibodi yang didapatkan sejak seorang anak lahir dari ibu mereka, ditambah pemberian ASI pada usia mendekati 2 tahun umumnya sudah semakin habis. Selain itu, ada juga pengaruh faktor lain yakni sistem kekebalan bayi masih belum matang sehingga bayi rentan terhadap penyakit infeksi akibat bakteri itu,
Lansia dan orang dengan kondisi komorbid walaupun bukan usia lanjut seperti pasien HIV, tidak mempunyai limpa sehingga imun kurang baik, orang dengan gangguan gagal ginjal, gagal hati, pasien diabetes dan cuci darah juga berada dalam kelompok berisiko.
Imunisasi dikatakan dapat melindungi tubuh dari risiko terkena penyakit infeksi. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan vaksin pneumokokus atau PCV untuk melindungi anak dari penyakit pneumokokus atau pneumonia.
Imunisasi PCV lengkap bisa diberikan pada bayi usia 2,4,6,12-15 bulan. Apabila terlambat dari jadwal, maka Anda perlu berkonsultasi dengan dokter anak untuk mendapatkan imunisasi PCV.
Pada usia dewasa, terdapat dua jenis vakin pneumokokus yakni PCV13 dan PPSV23. PCV13 diberikan pada usia di atas 50 tahun sementara PPSV23 untuk orang berusia lebih dari 60 tahun dengan masing-masing 1 dosis.
Baca juga: Pertolongan pertama kala alami kaku leher
Baca juga: Dokter: Jangan sepelekan gejala meningitis, segera periksakan
Baca juga: Wabah meningitis tewaskan 129 orang di Kongo
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022