Jadi saya katakan bukan hanya Bung Sabam berani, tetapi dikatakan wah PDI berani sekali.

Jakarta (ANTARA) - Tokoh nasional yang dikenal berani melawan rezim Orde Baru (Orba) Sabam Sirait menjadikan politik sebagai panggilan hidupnya.

"Beberapa pengalaman bertemu dengan Bapak Sabam ini luar biasa, saya melihat Bapak Sabam orang yang memahami benar dirinya, hidupnya dengan politik sebagai panggilan hidup dia," kata Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Andreas Pareira saat membedah sosok Sabam Sirait dalam diskusi bertajuk "Sabam Sirait: Kebebasan Pers dan Relevansinya Kini", di Media Center DPR, Jakarta, Kamis.

Andreas melihat sosok Sabam mirip dengan petuah dari sosiolog terkemuka Max Weber.

"Nasihat Max Weber ini sangat populer sangat terkenal dan banyak dipakai atau jadi pegangan mahasiswa politik di Eropa, politik sebagai panggilan, politik sebagai profesi. Kuliahnya ini, Max Weber menjelaskan tentang orang yang memahami politik sebagai panggilan hidupnya, politik sebagai pekerjaan utama dia dan politik sebagai pekerjaan sampingan, ini yang membedakan politisi itu," katanya dalam siaran persnya.

Yang membedakannya, ujar Andreas, adalah perilakunya. Sementara politik yang politisi memahami politik sebagai profesinya dia berjalan dengan substansi dan etika dan keyakinannya, itu muncul di dalam sikapnya.

"Sehingga kalau kita melihat Pak Sabam, kalau kita memperhatikan perjalanan Bapak Sabam, itu dia lakukan selama perjalanan hidupnya dengan keyakinan itu," ujarnya lagi.

Ia lalu menceritakan pengalaman PAW DPR RI bersama Sabam di tahun 2005 ia mengenang nasihat Sabam "Jangan belajar jadi pemimpin, tetapi belajarlah menjadi pengikut". Menurut Andreas nasihat ini sangat bermakna.

Seluruh rekam jejak kehidupan Sabam terekam dalam buku ‘Sabam Sirait: Berpolitik Bersama 7 Presiden’.

Jurnalis senior Kompas Joseph Osdar melihat sosok Sabam Sirait adalah pribadi yang berani, bertaruh dengan risiko. Hal ini bisa dilihat dari gaya Sabam menyampaikan interupsi dalam Sidang Umum MPR Tahun 1993.

"Jadi saya katakan bukan hanya Bung Sabam berani, tetapi dikatakan wah PDI berani sekali. Pada saat itu demokrasi yang Bung Sabam kumandangkan bukan yang dia katakan, tetapi actionnya itu dan itu cukup berisiko bagi saya, apalagi pada saat itu saya di istana," katanya lagi.

Narasumber lainnya, CEO Tempo Bambang Harymurti juga memiliki ingatan historis dengan sosok Sabam, yaitu saat kebebasan pers dikekang.

"Karena perannya beliau dalam kebebasan pers dan demokrasi itu pada waktu itu di saat pemberedelan Tempo, Detik, dan Editor dan pada saat itu ketika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan membuat protes disampaikan ke DPR dan yang hanya berani menerima adalah Bapak Sabam Sirait sebagai anggota Komisi I, pada saat itu luar biasa," kata Bambang lagi.

Jurnalis Senior DPR Andoes Simbolon melihat Sabam tak hanya tokoh nasional, tetapi figur yang tak lupa dengan adat istiadat.

"Jadi, kebetulan marga saya Simbolon, beliau hormat dan memanggil saya Lae dan terkadang Hula-Hula sambil memperlihatkan ibu jarinya selayaknya orang Jawa," ujar Andoes.

Baca juga: Wali Kota Medan dukung Sabam Sirait jadi pahlawan nasional
Baca juga: Ketua MPR: Sabam Sirait curahkan hidupnya bagi kemajuan demokrasi

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022