Jakarta (ANTARA News) - Batik kini tidak lagi menjadi barang antik dan klasik yang hanya didominasi oleh warna coklat dan hitam.
Dengan diakuinya batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia oleh dunia, pecinta kain tradisional itu pun kian bertambah.
Euforia masyarakat dalam berpakaian batik itulah yang menuntut sejumlah produsen kain tradisional tersebut untuk menciptakan beraneka ragam jenis dan warna batik. Salah satunya adalah batik ramah lingkungan atau juga dikenal dengan sebutan batik alam.
Disebut batik ramah lingkungan karena dalam proses pewarnaannya, kain tersebut lebih banyak menggunakan bahan dasar tumbuh-tumbuhan.
Pada awalnya, jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna alami batik baru satu macam saja, yaitu indigofera atau nila, yang menghasilkan warna biru. Namun, semakin hari para pengrajin batik daerah semakin mengembangkan kreativitas dengan menciptakan warna alami lainnya pada batik.
Jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna kain batik antara lain adalah secang, mahoni, kulit manggis, kulit rambutan, daun jambu, daun mangga, dan kunyit.
Secang, yang biasa digunakan sebagai bahan dasar minuman penghangat tubuh, menghasilkan warna merah pada batik. Sementara untuk mendapatkan warna natural, seperti cokelat, krem, dan abu-abu, dapat dihasilkan dari daun jambu, mahoni, dan kayu manis.
Kulit manggis digunakan untuk mendapatkan warna ungu, kunyit digunakan untuk mendapatkan warna kuning dan oranye, dan daun mangga digunakan untuk mendapatkan warna hijau.
Selain aman bagi kesehatan para pengrajin maupun pemakai batik, bahan-bahan pewarna alami tersebut juga mengeluarkan aroma wangi dan dapat memberi rasa hangat bagi yang memakai, seperti secang.
Batik Ramah Lingkungan
Penggunaan tumbuhan sebagai pewarna kain batik juga dapat mewujudkan rasa kepedulian terhadap alam. Limbah yang dihasilkan dari proses produksi batik berpewarna alam itu dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
Selain itu, ketersediaan bahan baku yang mudah didapatkan di lingkungan sekitar juga mendukung bagi keberadaan batik alam tersebut.
Tumbuhan yang digunakan sebagai zat pewarna juga dapat ditanam kembali dengan mudah sekaligus dapat menghijaukan alam.
Air bekas celupan kain batik tersebut juga aman digunakan untuk menyiram tanaman karena tidak mengandung bahan kimia. Ampas tumbuhan pewarna itu juga dapat digunakan sebagai media untuk berkebun.
Proses Pengerjaan yang Lama
Hingga saat ini masih belum banyak pengusaha batik di daerah sentra produksi batik, seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan Pekalongan, yang sepenuhnya beralih menggunakan bahan pewarna alami.
Hal ini dikarenakan proses produksi yang memakan waktu cukup lama untuk menghasilkan kain batik warna alam. Pewarnaan kain batik bisa dilakukan berhati-hari, bahkan berminggu-minggu, untuk mendapatkan warna sesuai yang diinginkan.
Karena lamanya proses pewarnaan itu juga yang menyebabkan harga batik alam jauh lebih mahal daripada batik yang menggunakan pewarna sintetis.
Untuk menghasilkan satu helai kain batik dengan corak yang beragam, proses pencelupannya akan memakan waktu lebih lama lagi.
Biasanya, para pengrajin batik menggunakan satu atau dua jenis bahan pewarna alam untuk satu kain batik. Selebihnya, mereka menggunakan larutan fiksatif atau larutan asam, seperti tawas, kapur dan tunjung, untuk menciptakan tingkatan warna.
Larutan tunjung digunakan untuk menciptakan hasil yang kuat atau warna tua, sedangkan kapur menghasilkan tingkatan warna menengah, dan tawas menciptakan warna muda.
Seperti diakui oleh Widodo, pengusaha batik asal Solo, yang memproduksi batik alam hanya jika ada yang memesan. Menurutnya, proses pembuatan batik alam bisa dua kali lipat lebih lama daripada batik sintetis.
"Kalau hanya buat batik alam saja, saya bisa tidak makan. Batik sintetis lebih cepat jadi karena tidak perlu waktu berhari-hari untuk dicelup," kata pria yang akrab disapa Dodo itu.
Demikian juga dikatakan pengusaha batik asal Pekalongan, Herry, yang belum semua batik produksinya menggunakan pewarna alam.
"Saat ini masih setengah-setengah dari batik saya yang pakai pewarna alam. Tapi lambat laun saya akan menggunakan pewarna alam untuk batik saya," ucapnya.
Hari Batik Nasional
Genap dua tahun sudah, sejak organisasi internasional PBB untuk pendidikan, ilmu, dan budaya (UNESCO) mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda.
Indonesia mendapat penghargaan resmi dari UNESCO, pada 2 Oktober 2009, di Abu Dhabi, karena batik dianggap mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas bangsa. Oleh karenanya, tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional.
Secara harfiah, batik berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Jawa, amba dan nitik, yang berarti menulis atau menyambung titik hingga membentuk motif.
Batik mulai dikenal oleh nenek moyang sejak abad XVII yang pada saat itu dilukis pada daun lontar. Saat itu, pola atau motif batik hanya berupa bentuk binatang dan tanaman.
Namun, sesuai dengan perkembangannya, motif tersebut berkembang menjadi, abstrak, relief candi, wayang beber, dan sebagainya.
Motif batik tradisional memiliki makna filosofis yang sesuai dengan budaya Jawa, antara lain trutum, parang barong, tambal, babon angrem, sekar jagad, dan sido asih.
(SDP5)
Oleh Fransiska Ninditya
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011