Pemanfaatan celah Gunung Tengger serta Arjuna yang ada di tol itu membuat lintasan jalurnya telihat cukup indah dari sisi pemandangan

Surabaya (ANTARA) - Sebelum tahun 1914, wilayah Malang Raya, Jawa Timur, yang terdiri atas Kota Malang, Kabupaten Malang serta Kota Batu merupakan satu kesatuan pemerintahan dengan nama Regent (Kaboepaten) Malang.

WIlayah itu memiliki lima akses atau pintu masuk dan keluar, masing-masing di sisi utara dinamai perlintasan Lawang, yakni melalui kawasan Lawang-Singosari, kemudian sisi barat melalui perlintasan Kota Batu-Kasembon, dan akses Kawi di sisi selatan dan perlintasan timur melalui Kawasan Dampit-Ampelgading.

Berikutnya, akses kelima biasa disebut sebagai "jalur purba" yakni Kawasan Cangar-Pacet karena kondisi jalur serta alamnya tidak banyak berubah sejak dibuka di Masa Hindu-Budha, yakni cukup curam tanjakan dan turunannya.

Selain itu, di akses kelima juga masih ditemukan beberapa peninggalan arkeologis berupa prasasti atau candi di sepanjang jalur, maupun di jalan-jalan kecil cabangnya.

Secara bentangan alam, di semua akses menuju kawasan Malang Raya dikelilingi gunung, sehingga secara topografis bisa disebut bahwa Malang Raya merupakan daerah lingkung gunung.

Layaknya sebuah "Cawan Raksasa", Malang Raya berada di tengah-tengahnya, dengan bagian tengah atau dasar cawan adalah wilayah administratif Kota Malang.

Dengan topografis demikian, maka akses atau jalur dari dan menuju kawasan Malang Raya dipastikan memanfaatkan celah di antara gunung-gunung yang ada di sisi kiri dan kanannya.

Seperti perlintasan Lawang yang kini menjadi akses utama menuju kawasan itu, dengan memanfaatkan celah Gunung Tengger di sisi timur, serta Gunung Arjuna di sisi barat.

Keberadaan perlintasan Lawang sebagai akses utama bukan karena pilihan masyarakat, namun karena secara struktur tanah juga cukup rata (flat), dibanding empat akses lainnya.

Sehingga, perlintasan Lawang tercatat merupakan akses paling padat dibanding empat akses lainnya, karena kemudahan jalurnya saat dilalui kendaraan serta mobilitas masyarakat.

Berdasarkan catatan Arkeolog asal Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono dalam buku Ekspedisi Samala, perlintasan Lawang atau dulu yang juga dikenal "Lawang Pass" juga telah menjadi jalur utama sejak masa Majapahit.

Hal itu disiratkan oleh prasasti tembaga (tamraprasasti) Katiden II (Prasasti Lumpang) bertarikh Saka 1317 (1395 M) yang kini terdapat di desa bernama 'Ketindan' di Kecamatan Lawang.

Dalam prasati itu, terdapat lempengan yang menyebut adanya suatu jenis pajak yang dinamai "jalang palawang" atau semacam pajak retribusi jalan.

Selain itu, Topomini Lawang yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai "pintu" memiliki cabangan startegis, seperti ke wilayah Pasuruan, yang di sana memiliki pelabuhan di muara Kali Porong, dan pada zaman kerajaan Singahasari merupakan pelabuhan utama atau jalur saudagar.

Kemudian cabangan ke wilayah Surabaya yang juga mempunyai akses pelabuhan terkenal hingga kini, dengan dulunya bernama Pelabuhan Hujung Galuh yang berada di ujung Kali Mas.

Sedangkan di jaman Hindia-Belanda, Lawang Pass atau perlintasan Lawang juga dijadikan akses strategis untuk penempatan dan mengamankan basis-basis militer kala itu.

Sehingga cukup pas ketika pembangunan tol menuju kawasan Malang Raya mengambil sisi jalur Pandaan-Malang, karena celah Gunung Tengger dan Arjuna cukup landai dan tidak terlalu curam untuk laju kendaraan.

Kini, Tol Pandaan-Malang yang mempunyai panjang 38,48 km dan lima seksi itu telah menjelma menjadi "Jendela Baru" menembus batas kawasan sejarah dan pariwisata "Cawan Raksasa".

Dan setiap akhir pekan, akses yang menghubungkan kawasan Malang Raya dengan Surabaya itu selalu padat dilalui kendaraan untuk berwisata di kawasan Malang Raya, atau hanya sekadar untuk melepas lelah warga Surabaya.

Pemandangan gunung di jalur Gempol-Pandaan akses menuju Tol Pandaan-Malang, Jawa Timur. (FOTO ANTARA/Malik Ibrahim)

Tol Terindah

Dalam prasasti batu yang ditempelkan di atas bukit sisi kiri arah Pandaan dari Malang, tertulis bahwa Presiden Joko Widodo meresmikan tol ini tanggal 13 Mei 2019, kemudian beroperasi penuh pada tahun 2020.

Dari catatan itu, berarti Tol Pandaan-Malang sudah berusia dua tahun lebih menemani pengendara menjadi akses tambahan menuju kawasan Malang Raya.

Pemanfaatan celah Gunung Tengger serta Arjuna yang ada di tol itu membuat lintasan jalurnya telihat cukup indah dari sisi pemandangan, belahan bukit yang tampak juga membuat mata terbelalak ketika melintas.

Pantas, jika Tol Pandaan-Malang masuk dalam jajaran Tol Terindah di Indonesia yang dirangkum oleh beberapa media masa dan warganet.

Hamparan hijau dengan pemandangan gundukan bukit dan gunung selalu terlihat di kaca mobil saat langkah kilometer kendaraan melewati kawasan ini.

Udara sejuk menerobos jendela mobil dan menghampiri sela rambut kepala, membuat kesegaran alami begitu terasa ketika kaca sedikit dibuka saat melintas.

Jika beruntung, atau saat cuaca cerah panorama Gunung Arjuno, Kawi, Bromo dan Gunung Semeru bakal terlihat jelas menyapa setiap pengendara yang akan masuk ke kawasan Malang Raya.

Salah satu pengendara yang melintas, Bambang Sulistyo mengaku pemandangan tol Pandaan-Malang seperti
layaknya raksasa atau manusia besar yang tertidur, hal ini karena gundukan bukit yang berjejer dari sisi kiri arah Malang menyerupai bentuk tubuh manusia.

Jika kabut datang, gundukan itu terlihat seperti terselimuti awan putih, layaknya film-film kekaisaran China di saat para prajurit mendatangi tempat pertapaan di atas bukit.

Tentunya, presepsi demikian sah-sah saja untuk menggambarkan keindahan jalur Tol Pandaan-Malang. Bagaimana dengan anda yang sudah melintas, atau yang akan melintas tol tersebut?


Baca juga: Tol Pandaan-Malang dilakukan penyekatan selama PPKM Darurat

Baca juga: Jalur tol Pandaan arah Malang kembali dibuka pascatebing longsor

Baca juga: Polda Jatim waspadai longsor susulan di Tol Pandaan-Malang

Baca juga: Wagub Jatim tinjau area tanah longsor di Tol Pandaan-Malang

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022