Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana atas pengujian Pasal 97 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terkait aturan perpanjangan cegah tangkal (cekal) dapat dilakukan terus-menerus tanpa ada batas waktu.
"Norma Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian khususnya frasa `..dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan` bertentangan Pasal 1 ayat (3) (asas negara hukum), Pasal 28D ayat (1) (kepastian hukum yang adil) dan Pasal 28E ayat (1) (hak tinggal, meninggalkan, kembali ke wilayah negara RI) UUD 1945," kata mantan menteri hukum dan hak asasi manusia Yusril Ihza Mahendra, pemohon pengujian undang-undang itu, saat sidang pemeriksaan pendahuluan di MK di Jakarta, Kamis.
Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian berbunyi: "Jangka waktu pencegahan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan".
Yusril meminta MK membatalkan frasa "setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan", sehingga permohonannya dikabulkan maka bunyi Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian ini berbunyi menjadi "Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 bulan".
Mantan menteri Hukum dan HAM ini menyadari negara berhak untuk mencegah seseorang untuk bepergian ke luar berdasarkan alasan dan kepentingan tertentu menurut hukum, meski hak untuk meninggalkan wilayah Indonesia dijamin Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
Namun dia menilai bahwa hak itu bukan termasuk "non-derogable right" (hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun), sehingga hak itu bisa dibatasi dengan undang-undang.
Persoalannya, kata Yusril, Pasal 97 ayat (1) itu memberikan kewenangan pejabat tertentu untuk mencekal selama 6 bulan dan dapat diperpanjang enam bulan berikutnya secara terus menerus.
"Berarti hingga `yaumil qiyamah` seseorang dapat dicekal asalkan diperpanjang setiap 6 bulan sekali, ini bertentangan dengan UUD 1945," katanya.
Yusril yang saat ini berstatus tersangka kasus korupsi biaya Sisminbakum, mengaku masih dalam status cekal hingga 25 Desember 2011 berdasarkan SK Jaksa Agung No. 201/D/Dsp.3/06/2011 tertanggal 27 Juni 2011.
"Sampai sekarang sudah 1,5 tahun dicekal, sudah tiga kali diperpanjang, ini tentunya akan diperpanjang terus, entah sampai kapan akan berakhir," katanya.
Menanggapi permohonan Yusril, Ketua majelis panel, Hamda Zoelva mempertanyakan jika jangka waktu setiap pencekalan hanya 6 bulan, cukupkah aparat penegak hukum selesai melakukan penyidikan, sebab KUHAP sendiri tak mengatur jangka waktu penyidikan tindak pidana dapat dikatakan selesai.
"Bisa jadi dalam waktu 6 bulan penyidikan belum selesai khususnya dalam perkara-perkara yang rumit, sehingga tersangkanya sudah tidak bisa lagi dicekal, ini jadi persoalan dan harus dipikirkan," kata Hamdan.
Hamdan menyarankan bahwa jangka waktu cekal cukup 6 bulan atau perlu diperpanjang lagi maksimal satu atau dua kali perpanjangan, sehingga ada batas waktunya.
Sementara Anggota Majelis Panel Muhammad Alim menyarankan agar permohonan ini dikaitkan dengan ketentuan jangka waktu penahanan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan yang totalnya 360 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 25-29 KUHAP.
"Aturan itu sudah mengatur masa tahanan sedemikian rupa dalam setiap proses peradilan yang telah memberikan kepastian hukum," kata Alim.
Atas saran itu, Yusril mengingatkan sesuai UU No. 8 Tahun 2011 tentang kewenangan MK hanya sebagai negative legislator yang dilarang menambahkan/menciptakan norma baru.
"Makanya, pemohon tidak memohon jangka waktu dan berapa kali perpanjangan cekal yang ideal," kata Yusril.
Karena itu, dia berharap jika permohonan ini dikabulkan, MK dapat menentukan jangka waktu cekal yang ideal, disesuaikan dengan jangka waktu penahanan sebelum DPR dan pemerintah merevisi UU Keimigrasian ini.
"Mahkamah bisa memberikan jangka waktu khusus dalam pencekalan ini meski bertentangan dengan UU MK," harapnya.
(ANTARA)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011