Perusahaan film juga belum menyadari sepenuhnya ihwal kriteria yang harus dipenuhi untuk membuat karya sesuai penggolongan usia tertentu

Jakarta (ANTARA) - Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan sensor film bukan bermaksud untuk mengekang kreativitas para sineas.

“Penyensoran film merupakan amanat dari Undang-undang Perfilman,” ujar Rommy dalam taklimat media di Jakarta, Selasa.

Dia menambahkan Komisi II LSF mencatat bahwa sepanjang 2021 ada 8.858 kali pemantauan. Pemantauan dilakukan hanya di televisi dan jaringan informatika karena selama pandemi COVID-19, bioskop tidak beroperasi.

Baca juga: LSF sebut 99,99 persen film yang diajukan pada 2021 lulus sensor

Dari jumlah tersebut, terdapat 7.597 kasus temuan, di antaranya 2.602 tayangan tanpa melalui proses sensor, 2.793 film yang saat penayangan tidak mencantumkan surat tanda lulus sensor (STLS), sebanyak 2.602 film yang ditayangkan dengan data film berbeda dengan yang didaftarkan untuk disensor.

Bahkan ada 149 film yang ditayangkan dengan STLS yang sudah kedaluwarsa, kemudian pemantauan pada sebanyak 1.912 film asing yang ditayangkan dengan sulih suara.

Secara umum, kata dia, dapat disimpulkan bahwa sebelum film atau iklan diproduksi, banyak perusahaan film tidak terlalu ketat dalam merencanakan produksinya, khususnya tidak terlalu mempertimbangkan produksinya akan digolongkan untuk penonton usia berapa tahun.

Baca juga: UMSU dan LSF RI kolaborasi sosialisasi budaya sensor film mandiri

“Perusahaan film juga belum menyadari sepenuhnya ihwal kriteria yang harus dipenuhi untuk membuat karya sesuai penggolongan usia tertentu, sebagaimana diamanatkan peraturan dan perundangan. Mereka justru menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan, penilaian, serta penetapan penggolongan usia yang diberikan LSF,” terang dia.

Anggota LSF, Tri Widyastuti, mengatakan sebagian besar sineas memang kurang mengetahui mengenai klasifikasi usia tersebut. Oleh karena itu, pihaknya melakukan edukasi pada sineas dan juga pihaknya melayani audiensi bagi sineas yang ingin membuat film.

Baca juga: LSF kampanyekan budaya sensor mandiri

“Kebanyakan para sineas itu tidak memahami UU tersebut, setelah bertemu dengan LSF baru kemudian mereka mengetahuinya. Misalnya ada adegan tentang peredaran narkoba di film itu, bahkan kita bisa belajar dari film tersebut. Itu tidak diperbolehkan dan mereka baru mengetahuinya setelah bertemu dengan LSF,” terang Widyastuti.

Anggota LSF, Nasrullah mengatakan memang ada permintaan dari produsen film agar klasifikasi usia film mereka diperluas. Namun kemudian LSF mengkaji kembali apakah sudah sesuai atau belum konten yang ada di film dengan klasifikasi umur tersebut.

Baca juga: LSF ingin budaya sensor mandiri mengakar di masyarakat

Pewarta: Indriani
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022