Untuk kepentingan perlindungan anak, pemerintah harus mengontrol konten situs yang menyebarkan paham keagamaan menyimpang, mengajarkan kekerasan, kebencian antaragama antarkelompok masyarakat.
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung usul pemblokiran situs-situs internet yang menyebarkan ajaran radikalisme.
"Untuk kepentingan perlindungan anak, pemerintah harus mengontrol konten situs yang menyebarkan paham keagamaan menyimpang, mengajarkan kekerasan, kebencian antaragama antarkelompok masyarakat," kata Wakil Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh, di Jakarta, Rabu.
Dikatakannya, pemblokiran situs radikal sebagai langkah preventif untuk mencegah tersebarnya faham menyimpang sangat penting dilakukan.
Akan tetapi, lanjutnya, tidak berhenti di situ, perlu ada penindakan hukum yang keras bagi aktor yang menyebarkan ajaran kekerasan, radikalisme dan ajaran menyimpang lainnya ke publik agar ada efek jera.
"Blokir tanpa ada penindakan hukum bagi pengelolanya adalah sia-sia, ibarat menangkal peluru dari penembak dengan tetap membiarkan penembaknya," kata akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta pemerintah menutup situs-situs yang menyebarkan faham radikalisme agar tidak menyuburkan pertumbuhan terorisme.
"Jangan hanya situs porno yang diblokir, situs yang mendorong terjadinya sikap radikal, fundamentalisme juga harus ditutup. Bahayanya sama," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, tidak kunjung habisnya aksi terorisme, terutama yang berdimensi ideologi, salah satunya disebabkan bebasnya penyebaran ajaran yang radikal.
Dikatakannya, penyebaran ajaran agama radikal yang meluas bisa mengakibatkan masyarakat awam merasa tidak ada yang salah dengan tindakan pelaku aksi teror yang berlabel "jihad", juga lebih menguatkan keyakinan orang yang sebelumnya memiliki pemahaman keagamaan yang kaku.
"Kalau sudah radikal secara ideologi maka tinggal selangkah lagi untuk melakukan tindakan radikal," kata Said Aqil.
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011