Houston (ANTARA) - Harga minyak melonjak lebih dari tujuh persen pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), dengan patokan global Brent naik di atas 115 dolar AS per barel, ketika negara-negara Uni Eropa berselisih tentang apakah akan bergabung dengan Amerika Serikat dalam embargo minyak Rusia setelah serangan terhadap fasilitas minyak Saudi.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei terangkat 7,69 dolar AS atau 7,12 persen, menjadi menetap di 115,62 dolar AS per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman April bertambah 7,42 dolar AS atau 7,09 persen, menjadi ditutup di 112,12 dolar AS per barel.
Embargo semacam itu "bisa menjadi jurang bagi masalah pasokan global," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC.
Mengingat ketidakpastian tentang potensi larangan impor minyak Rusia dari Uni Eropa, bensin berjangka AS melonjak 5,0 persen.
Pemerintah-pemerintah Uni Eropa akan mempertimbangkan apakah akan memberlakukan embargo minyak terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina saat mereka berkumpul minggu ini dengan Presiden AS Joe Biden untuk serangkaian pertemuan puncak yang dirancang untuk memperkuat tanggapan Barat terhadap Moskow.
Uni Eropa dan sekutunya telah memberlakukan serangkaian tindakan terhadap Rusia, termasuk membekukan aset-aset bank sentralnya.
Ukraina menentang permintaan Rusia agar pasukannya meletakkan senjata sebelum fajar pada Senin (21/3/2022) di Mariupol, di mana ratusan ribu warga sipil telah terperangkap di sebuah kota yang dikepung.
Dengan sedikit tanda-tanda meredanya konflik, fokus kembali ke apakah pasar akan mampu menggantikan barel Rusia yang terkena sanksi.
"Optimisme menghapus tentang kemajuan dalam pembicaraan untuk mencapai gencatan senjata di Ukraina dan itu mengirim harga minyak naik," Susannah Streeter, analis pasar senior di manajer aset Hargreaves Lansdown yang berbasis di Inggris, mengatakan.
Selama akhir pekan, serangan oleh kelompok Houthi Yaman yang bersekutu dengan Iran menyebabkan penurunan sementara dalam produksi di usaha patungan kilang Saudi Aramco di Yanbu, menambah kekhawatiran di pasar produk minyak yang gelisah, di mana Rusia adalah pemasok utama dan persediaan global berada di posisi terendah dalam beberapa tahun.
Arab Saudi pada Senin (21/3/2022) mengatakan tidak akan bertanggung jawab atas kekurangan pasokan minyak global setelah serangan ini, sebagai tanda meningkatnya frustrasi Saudi dengan penanganan Washington terhadap Yaman dan Iran.
Laporan terbaru dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia atau dikenal sebagai OPEC+, menunjukkan beberapa produsen masih kurang dari kuota pasokan yang disepakati.
Harga minyak juga sensitif terhadap pembicaraan tentang Hong Kong yang mencabut pembatasan COVID-19, yang dapat meningkatkan permintaan, dan semakin banyaknya perusahaan AS yang mundur dari Rusia - termasuk Baker Hughes, ExxonMobil, Shell dan BP.
Baca juga: Minyak melonjak setelah UE rencanakan gabung AS embargo minyak Rusia
Baca juga: Uni Eropa pertimbangkan embargo minyak Rusia, Biden akan bergabung
Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022