Jakarta (ANTARA) - “Mau ambil uang sendiri aja dipersulit”. Belakangan kalimat tersebut sering kita dengar menyusul disahkannya Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua.
Dalam Peraturan tersebut disebutkan manfaat JHT dapat dibayarkan jika peserta mencapai usia pensiun 56 tahun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.
Banyak pekerja merasa bahwa saldo JHT adalah hak mereka yang bisa diambil pada saat diperlukan, karena JHT berasal dari gaji yang dipotong setiap bulannya.
Sebagian besar masyarakat beranggapan JHT tak ubahnya seperti tabungan di bank. Itu sebabnya terbitnya Permenaker 2/2022 mendapatkan penolakan dari banyak kalangan, terutama para pekerja.
Sebetulnya dari mana sumber dana JHT itu berasal? Benarkah saldo JHT itu murni dari potongan gaji pekerja?
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, bahwa iuran JHT bagi peserta penerima upah adalah 5,7 persen dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja sebesar 2 persen dan pemberi kerja sebesar 3,7 persen.
Bila dianalogikan, maka prosesnya adalah, seorang pekerja dengan gaji Rp3 juta menabungkan 2 persen dari gajinya, yaitu sebesar Rp60.000 setiap bulan ke dalam program JHT.
Iuran yang disetorkan sebagai tabungan tersebut ditambah Rp111.000 oleh pemberi kerja.
Oleh karena itu dengan setoran iuran sebesar Rp60.000, saldo tabungan JHT pekerja bertambah menjadi Rp171.000 setiap bulannya.
Pemberi kerja bersedia memberikan tambahan tabungan dengan nominal yang lebih besar karena diikat oleh aturan ketenagakerjaan, antara lain wajib ikut program JHT.
Dengan demikian saldo JHT yang dimiliki pekerja tidak sepenuhnya berasal dari potongan gaji.
Masalah lain yang dikeluhkan oleh para pekerja adalah syarat pengambilan JHT yang dianggap lebih sulit dibandingkan dengan mengambil uang tabungan di bank.
Jelas kedua skema ini memiliki perbedaan dari sumber dana, pengelolaan dana, sampai dengan cara penarikannya.
Sumber dana JHT diatur melalui peraturan pemerintah, demikian pula dengan cara penarikan dana dimaksud. Untuk membandingkan tabungan JHT dengan tabungan di bank, kita lihat simulasi tabungan berikut.
A adalah seorang pekerja dengan penghasilan Rp3 juta setiap bulan. Karena perusahaan tempat A bekerja mendaftarkan pekerjanya pada program JHT, maka A menyetorkan Rp60.000 dari gajinya ke dalam tabungan program JHT.
Setelah satu tahun bekerja, saldo tabungan JHT A menjadi Rp2.052.000. Bandingkan dengan saldo tabungan di bank jika A menyetorkan tabungan secara rutin dengan jumlah yang sama yaitu Rp60.000 setiap bulan.
Dalam satu tahun, saldo tabungan A di bank menjadi Rp720.000. Perbedaan saldo yang cukup berarti.
Selain perbedaan jumlah saldo yang cukup jauh, masih ada beberapa perbedaan antara tabungan JHT dengan tabungan di bank.
Perbedaan pertama adalah setoran tabungan JHT pasti akan dilakukan setiap bulan, karena disetor otomatis oleh pemberi kerja. Pekerja dipaksa untuk menabung, sedangkan untuk tabungan di bank ada kemungkinan setoran bolong-bolong karena disetor sendiri secara sukarela.
Kedua, ada jaminan hasil pengembangan JHT minimal setara dengan bunga deposito bank pemerintah, sedangkan bunga tabungan bank biasanya lebih rendah dari bunga deposito.
Selain itu, tabungan JHT tidak dikenakan biaya apapun, termasuk biaya administrasi ataupun pajak atas bunga.
Untuk tabungan di bank, seperti yang kita ketahui pasti ada potongan untuk administrasi setiap bulan.
Terakhir, jika tidak melakukan transaksi dalam kurun waktu tertentu (biasanya enam bulan), tabungan di bank akan dinyatakan sebagai tabungan pasif (dormant) dengan transaksi yang dibatasi, tetapi potongan untuk administrasi dan biaya lainnya tetap berjalan.
Jika hal ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, tidak menutup kemungkinan saldo tabungan akan menjadi nol.
Tidak demikian halnya dengan tabungan JHT. Misal, seorang peserta JHT berstatus nonaktif karena sedang tidak bekerja dan tidak ada setoran JHT, maka saldo JHT peserta tersebut tidak akan pernah berkurang.
Bahkan setiap tahun saldo tersebut tetap mendapatkan porsi pengembangan saldo yang sama dengan pengembangan yang diberikan kepada peserta aktif. Dengan demikian, saldo JHT peserta yang berstatus nonaktif akan terus bertambah setiap tahunnya.
Semua perbedaan di atas terjadi karena adanya perbedaan peraturan dan tujuan dari kedua skema tersebut.
Peraturan tentang penyelenggaraan program JHT dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk melindungi para pekerja dari berkurang atau hilangnya penghasilan pada saat memasuki usia tua, saat dimana seseorang sudah tidak mampu lagi untuk bekerja sebagaimana pada waktu muda.
Dengan demikian diharapkan para “pensiunan” dapat tetap mandiri secara ekonomi dan tidak menjadi beban bagi anggota keluarga lainnya. Hal ini dapat meningkatkan harga diri dan partisipasi dalam kegiatan ekonomi.
Sebagaimana dilansir oleh media, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Teguh Dartanto menjelaskan bahwa secara statistik masyarakat dengan usia 56 tahun sampai dengan 71 tahun mayoritas tergolong rentan miskin, sehingga membutuhkan jaminan perlindungan sosial yang kokoh.
Oleh karena itu aturan JHT disusun dengan semangat untuk memberikan proteksi kepada masyarakat usia pensiun agar tidak masuk ke dalam kategori masyarakat miskin dan rentan miskin.
*) Neni Sri Wahyuni, S.Si, M.Si adalah Penata Senior Pengembangan Studi dan Kajian Aktuaria Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan
Copyright © ANTARA 2022