Padang, (ANTARA) - Jalanan di Kota Padang Sumatera Barat rasanya kian sempit bukan karena berkurangnya lebar badan jalan, namun karena truk berukuran besar berjejer di jalan raya hingga ke dalam Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) yang menyediakan solar bersubsidi untuk masyarakat.

Pemandangan seperti ini, tak hanya terjadi di SPBU di Kota Padang saja, tapi hampir semua SPBU di Sumatera Barat tak dapat mengelak dari antrean truk angkutan barang tersebut.

Tulisan "Solar Habis" yang dipajang petugas di pintu masuk SPBU tak membuat semangat sopir untuk tetap antre mendapatkan solar bersubsidi. Bahkan mereka rela menunggu hingga mobil dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Bungus yang membawa solar bersubsidi untuk diisikan ke tanker penyimpanan untuk dijual kepada masyarakat.

Setiap hari, pengisian solar bersubsidi di setiap SPBU di Kota Padang dilakukan satu kali sehari sehingga apabila solar habis, pada saat itu mereka harus menunggu ketersediaan solar kembali terisi untuk esok harinya.

Fenomena ini terus terjadi sejak beberapa waktu terakhir dan banyak warga yang mengeluh karena antrean panjang ini tak hanya membuat macet namun berdampak bagi pelaku usaha yang tokonya tertutup kendaraan yang saat mengantre bahan bakar mendapatkan bahan bakar bersubsidi tersebut.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Hery Martinus mengatakan kuota bahan bakar solar bersubsidi untuk Sumbar mengalami penurunan pada tahun 2022 sebesar tiga persen dibandingkan pada tahun lalu.

Pada tahun ini Sumatera Barat mendapatkan jatah 411.000 kilo liter dan ini turun sekitar tiga persen dari tahun lalu dari sebelumnya 500 ribu kilo liter lebih.

Padahal pihaknya bersama Pertamina mengusulkan kuota solar bersubsidi Sumbar ke BPH Migas untuk 2022 sebesar 150 persen dari kuota yang didapatkan pada 2021 namun BPH Migas menetapkan jatah untuk Sumbar turun pada tahun ini.

BPH Migas dalam menetapkan kuota ini solar subsidi ini dilakukan secara kondisional tergantung dengan keuangan negara, ada kalanya naik dan ada kalanya turun seperti saat ini.

Dengan jatah kuota 411.000 kiloliter untuk tahun 2022, dalam sehari hanya 1.100 kiloliter yang disebar ke seluruh SPBU Sumatera Barat. Kuota itu sebenarnya mencukupi jika penyaluran solar bersubsidi ini tepat sasaran atau sesuai dengan regulasi yang ada.

Menurut dia kuota solar itu cukup untuk Sumbar, dari data yang dimiliki kendaraan paling banyak menghabiskan jatah solar adalah mobil truk besar yang kerap antre di SPBU. Harusnya mereka tidak diperkenankan mengonsumsi bahan bakar bersubsidi itu.

Dalam Perpres Nomor 191 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak diatur siapa saja yang berhak mendapatkan solar bersubsidi mulai dari kendaraan angkutan orang dan barang dengan jumlah roda kurang dari enam.

Pertamina mendorong Pemprov Sumbar melalui Dinas ESDM menerbitkan Surat Edaran Nomor 500/48/ Perek-KE/2022 tertanggal 20 Januari 2022 tentang Pengendalian Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) solar bersubsidi di Sumatera Barat.

Surat edaran tersebut mengatur lebih rinci lagi masyarakat yang berhak mengonsumsi solar bersubsidi sesuai Perpres 191 2014.

Mulai dari kendaraan pribadi roda empat paling banyak 40 liter per hari, untuk angkutan umum orang atau barang dengan empat roda maksimal 60 liter per hari. Sementara untuk kendaraan angkutan barang atau orang dengan enam roda maksimal per hari hanya 125 liter.

Sementara fakta yang ditemui di lapangan sangat berbeda dari regulasi yang dibuat pemerintah karena kendaraan yang antre di SPBU adalah angkutan barang dengan jumlah roda lebih dari enam mulai dari mobil pengangkut pasir, sawit, batu bara, pasir, semen dan lainnya.

Mobil itu tidak diperbolehkan membeli bahan bakar bersubsidi namun harus membeli jenis lain berupa bahan bakar non subsidi dengan harga yang lebih mahal namun selalu tersedia di seluruh SPBU di provinsi itu.

Mobil-mobil tersebut rela mengantre di SPBU seharian untuk mendapatkan jatah solar bersubsidi yang harusnya tak layak mereka nikmati untuk meminimalkan biaya operasional dengan membeli bahan bakar yang lebih murah.

Disparitas harga yang tinggi inilah yang menjadi alasan kuat sopir truk dengan roda lebih dari enam ini untuk membeli bahan bakar bersubsidi yang dijual Rp5.150 per liter sementara untuk dexlite dijual Rp9.700 per liter sementara Pertamina Dex Rp11.350.

Edukasi masyarakat

Sales Area Marketing PT Pertamina I Made Wira meminta agar pengendara truk mengonsumsi bahan bakar sesuai dengan regulasi yakni SE Gubernur Sumbar nomor 500/48/Perek-KE/2022 tentang pengendalian pendistribusian jenis bahan bakar tertentu solar bersubsidi di Sumbar yang mengatur siapa saja yang berhak mendapatkan solar bersubsidi.

"Kita imbau pengusaha truk angkutan industri untuk beralih menggunakan bahan bakar non subsidi agar kuota yang ada tidak habis. Kita petakan memang truk besar ini yang menyebabkan kuota solar subsidi di Sumbar habis," kata Made Wira.

Pertamina terus melakukan edukasi kepada masyarakat dan membantu pemerintah provinsi dalam menyosialisasikan surat edaran itu kepada masyarakat. Selain sosialisasi, Pertamina juga memberikan arahan kepada petugas SPBU agar tidak melayani kendaraan yang tidak layak mendapat solar bersubsidi sesuai regulasi.

Pihaknya juga tidak segan melakukan penindakan kepada SPBU yang nakal dengan menjual bahan bakar solar kepada truk dengan roda lebih dari enam atau menjual kepada masyarakat menggunakan jeriken.

Pertamina hanya berwenang mengantarkan bahan bakar dari TBBM ke SPBU dan apabila ada petugas yang melanggar ketentuan tentu akan diberikan sanksi.

Sanksi yang diberikan mulai dari teguran pengurangan alokasi bahan bakar hingga penutupan SPBU dan ini tentu berdampak pada masyarakat yang mengisi bahan bakar di kawasan tersebut.

Pihaknya terus mengajak seluruh pihak terutama Pemprov Sumbar, Kepolisian dan Pemkab/Pemkot kota dan kabupaten serta masyarakat untuk melakukan pengawasan penyaluran bahan bakar bersubsidi ini agar tepat sasaran sehingga kuota yang ada mencukupi kebutuhan daerah.

Pengawasan yang dilakukan mulai dari sidak secara bersama jika ada temuan dan laporan masyarakat, tindakan tegas terhadap temuan yang diharapkan membuat penyaluran bahan bakar bersubsidi ini tepat sasaran.

Sementara Subdit Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumbar Kompol Firdaus berkomitmen menindak pelaku penyalahgunaan bahan bakar minyak bersubsidi di provinsi itu.

Pada tahun ini pihaknya telah mengungkap dua kasus penyalahgunaan bahan bakar subsidi dengan cara melakukan modifikasi terhadap tank bahan bakar kendaraan.

"Kedua kasus ini terjadi di Kota Padang dan Kota Pariaman yang kita tindak. Saat ini keduanya sudah masuk tahap 1," kata dia.

Kasus pertama terjadi di daerah Lubuk Begalung Kota Padang yang diungkap pada 3 Januari 2022 dan di Kota Pariaman diungkap di bulan Februari 2022.

"Prosesnya masih berjalan dan dalam waktu dekat akan dilimpahkan ke kejaksaan," kata dia.

Ini merupakan salah satu komitmen kepolisian dalam menjaga solar bersubsidi di Sumbar tepat sasaran dan diakui beragam modus yang dilakukan untuk melakukan penyalahgunaan bahan bakar bersubsidi jenis solar.

Untuk itu, koordinasi dengan Pertamina dan Dinas ESDM Sumbar perlu terus dijalin dalam melakukan pengawasan.

Kunci ketersediaan bahan bakar solar bersubsidi di Sumbar harus berasal komitmen pemangku kebijakan mulai dari PT Pertamina, BPH Migas, Pemprov Sumbar dan kepolisian memiliki kesepahaman untuk menjalankan regulasi yang ada sehingga bahan bakar subsidi ini tepat sasaran dan tidak dikonsumsi kendaraan yang tidak berhak.

Apabila ini dapat diwujudkan maka persoalan kuota solar bersubsidi yang ada saat ini akan mencukupi kebutuhan kendaraan sesuai dengan aturan.
Baca juga: Wamen ESDM bahas harga bahan bakar umum non-subsidi
Baca juga: Menteri ESDM sebut akan kurangi kuota BBM Premium di Jawa-Madura-Bali
Baca juga: Polisi ungkap kasus dugaan premium illegal dari kecelakaan truk

Pewarta: Mario Sofia Nasution
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022