Jakarta (ANTARA News) - Tugas kita sebagai “manusia warga negara” adalah menjadi “manusia warga negara” yang mampu membuat negara kita besar dan dihormati. Dan membangun negara yang besar dan dihormati dunia internasional itu membutuhkan kearifan.
Negara yang besar dan dihormati harus mengenal dirinya sendiri, mengenal kepentingan dan tujuan hidupnya, memahami segala kekuatan dan kelemahan serta kesempatan dan ancaman.
Ia mampu mengenali posisinya dalam kompleksitas politik internasional, termasuk bagaimana menempatkan diri dalam tekanan globalisasi pendidikan.
Dalam konteks pembangunan kekuatan negara, pendidikan adalah krusial bagi pembangunan bangsa.
Ketika manusia bertindak sebagai pelaku perkembangan peradaban, maka manusia adalah cara, sekaligus akhir, di mana tidak ada lagi di luar manusia yang bisa mempengaruhi peradaban.
Dalam diri manusia ada tensi dan kontradiksi yang memiliki dua sisi, higher nature (moral nature) dan sensual nature (animal nature), yang ada pada baik manusia maupun binatang.
Pestaloozi menandaskan peran pendidikan adalah meninggikan higher nature dan mengeliminasi secara alami animal nature menjadi tidak mudah dirusak.
Fase reformasi 1998 sebenarnya adalah fase gelap pendidikan dan juga pertahanan keamanan bangsa, karena agendanya sarat tujuan "praktis", yaitu mengganti Presiden Soeharto dan membarakkan TNI.
Konsep kekuatan negara pun menjadi membingungkan karena hanya meninjau kembali peran TNI yang kemudian diatur sebagai outward looking military yang memiliki fungsi eksternal belaka.
Sistem ini membawa konsekuensi sangat berat sebab menuntut persyaratan dasar, berupa kemampuan anggaran tinggi dan kesiapan alutsista modern untuk menghadapi perebutan sumber daya alam dan perdagangan, bahkan mungkin peperangan atas dasar agama atau ideologi (Rahakundini, 2009).
Walau bukan dasar pembangunan kekuatan pertahanan, anggaran tetap menjadi kunci konsep ini dan mencakup seluruh biaya untuk perubahan dan pengembangan persyaratan dasar yang dibutuhkan, yaitu terwujudnya pelatihan, peralatan, personil, infrastruktur, doktrin, organisasi, sistem informasi, dan logistik.
Proses pendidikan juga tak bisa lepas dari persyaratan dasar ini. Hampir semua unsur yang terkait dengan pendidikan akan berujung ke sana.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami krisis yang berhulu ke pendidikan, yaitu krisis identitas, krisis kebangsaan, krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis moral dan berbagai krisis dalam "bernegara" lainnya.
Krisis-krisis ini bukan hanya dapat diidentifikasi langsung berhubungan dengan masalah transformasi sosial dan transformasi budaya bangsa Indonesia, tapi juga menciptakan dampak negatif seperti kekerasan, kemiskinan, korupsi dan kerusakan lingkungan.
Menurut Personalian Functionalism, pendidikan menyediakan prasyarat fungsional yaitu memberi individu-individu kebutuhan sistem nilai dan sikap yang diperlukan untuk masa depannya.
Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki dan membangun saringan bagi paham dan sistem nilai yang tidak sesuai dengan filosofi politik bangsa.
Berbicara pentingnya pendidikan dalam kaitan dengan pendidikan tinggi, sangatlah menyedihkan melihat bagaimana keputusan Universitas Indonesia untuk memberikan gelar Doctor Honoris Causa (DRHC) kepada Raja Arab Saudi telah dipolitisasi begitu rupa oleh sejumlah pihak.
Sebenarnya tidak perlu heboh, jika dipahami bahwa proses pemberian DRHC sudah diputuskan sejak 3 tahun lalu oleh satu komite beranggotakan 9 guru besar dari Majelis Wali Amanat, Dewan Guru Besar, Badan Eksekutif dan Senat Akademik Universitas.
Mereka membuat rasionalisasi pemberian DRHC dibantu oleh empat ahli lintas agama.
Prosesnya sangat selektif. Untuk tokoh-tokoh Indonesia, hanya individu sekaliber B.J. Habibie, Taufik Ismail, dan Taufik Abdullah, yang menerimanya, sementara untuk tokoh luar negeri, anugerah ini pernah diberikan kepada Daisaku Ikeda -tokoh Budha Jepang yang sangat berpengaruh karena inisiatif perdamaian, Presiden Turki, Prof Pieter Heinz dari Belanda, dan Dr. Issidiro dari Spanyol.
Beberapa pemenang hadiah Nobel, diantaranya Marty Attisari, tengah dalam proses seleksi untuk mendapatkan DRHC UI.
Oleh karena itu, pemberian DRHC kepada Raja Saudi mestinya dipandang sebagai terobosan di tengah fakta tidak mudahnya melakukan diplomasi "masyarakat ke masyarakat" atau "negara ke negara" kepada Arab Saudi.
Meski Indonesia negara berpenduduk mayoritas pemeluk Islam, itu tidak otomatis mendekatkan kita dengan Arab Saudi. Dan terobosan "diplomasi perguruan tinggi kepada negara" yang dipromosikan UI bisa membawa dampak jangka panjang bagi perbaikan hubungan kedua negara, termasuk demi nasib TKI yang jumlahnya mendekati 2 juta jiwa yang 12 diantaranya terancam hukuman mati.
Apa yang dilakukan UI dapat memperlebar jalan negara dalam membebaskan WNI dari hukuman berat itu, kendati beberapa kasus kriminal mungkin sangat sulit dibela.
Politisasi pemberian gelar DRHC membuat semua usaha dan kerja keras civitas academica UI seperti ‘tidak berarti".
Padahal, selagi mengikuti program The Future Leaders yang diselenggarakan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam program IDEAS 3.0 beberapa waktu lalu di Amerika Serikat, kami berdua dan beberapa kawan yang terpilih dalam program ini, terkesima melihat bagaimana hebatnya visi dan misi pembangunan pendidikan yang diterapkan MIT.
Saat berada di tengah kampus MIT, kami merasakan ironi yang memiriskan, yaitu betapa UI menghadapi gelombang pemberitaan menyudutkan soal pemberian gelar DRHC yang lalu merembet ke soal lain seperti good governance tersebut.
Keluarga besar UI miris karena sepertinya pencapaian UI dalam menyejajarkan diri dengan pendidikan tinggi internasional seperti "tidak terlihat".
Padahal, apa yang telah dicapai UI, khususnya dalam tiga tahun terakhir di bawah kepemimpinan Prof. Gumilar R Somantri, sangat signifikan jika dipandang dari bagaimana UI menangani aspek kendala utama basic requirements pendidikan tinggi kita, yaitu anggaran pendidikan dan aspek ketahanan pendidikan yang mencakup pelatihan, peralatan, personil, infrastruktur, organisasi, sistem informasi, dan logistik.
Ditinjau dari aspek anggaran dan infrastruktur, kemajuan UI termasuk menonjol di Asia Tenggara, bahkan masuk kategori sangat dinamis di Asia.
Penataan keuangan terintegrasi dan mengedepankan pembangunan SDM yang berorientasi merit system telah diperkuat dengan sistem remunerasi yang memungkinkan dosen dan karyawan tenang bekerja dan produktif, sehingga menopang daya saing UI di tingkat regional dan internasional.
Pengelolaan keuangan terintegrasi dengan sistem penganggaran bottom up, cash management on line, serta sistem akuntansi dan pelaporan keuangan yang standar telah menghasilkan laporan auditor eksternal “clean opinion’ selama 3 tahun berturut-turut.
Terbangunnya transparansi dan akuntalibilitas yang baik ini, anggaran UI pun melonjak. Pada 2007, anggaran UI hanya sekitar 650 milyar, setahun kemudian naik menjadi 1,4 trilyun, dan kini udah mendekati Rp2,5 trilyun.
Dalam rangka membangun kultur akademik yang kuat, UI telah bekerja keras menyiapkan infrastruktur bertaraf internasional dan berdaya guna nasional, diantaranya dengan membangun perpustakaan termodern dan terbesar di Asia, pusat seni dan kebudayaan, laboratorium, rumah sakit, fasilitas olah raga, sampai boulevard yang berfungsi sebagai pintu masuk baru UI yang dapat diakses langsung dari jalan tol.
Keseluruhan proyek yang jumlahnya sekitar 30 itu saat ini sebagian telah diselesaikan.
Gaji dosen juga naik signifikan. Di masa lalu, pedapatan dosen hanya berkisar 1,7 - 3,5 juta rupiah, tapi setelah sentraliasasi keuangan dan penataan SDM, naik menjadi 6-38 juta rupiah bagi dosen yang konsisten menjalankan sistem dosen inti penelitian dan dosen inti pengajaran sesuai kualifikasinya.
Sistem ini efektif mengembalikan para staf pengajar yang terbiasa "moon lighting" untuk kembali berkonsentrasi mengajar, membimbing mahasiswa, melakukan riset, dan mempublikasikan temuan-temuan mereka.
Hasilnya, dari total publikasi UI yang pada 3 tahun lalu hanya 4.000an, sekarang telah melebihi 10.000 per tahun, termasuk lebih dari 300 artikel di jurnal internasional.
Jika dilihat dari scopus index UI (index karya ilmiah yang dikutip ilmuwan di seluruh dunia), tiga tahun lalu hanya ada sekitar 1.300 publikasi yang diacu, namun pada 2011 telah lebih dari 4.000 publikasi. Angka ini termasuk tertinggi di Asia Tenggara.
Tidak heran, peringkat UI di percaturan pendidikan tinggi internasional naik signifikan dalam 3 tahun terakhir.
Hari ini dengan bangga kami tuliskan di sini bahwa UI adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang masuk 300 universitas terbaik; urutan 217 dari 16.000 perguruan tinggi terkemuka dunia.
Di Asia, UI berperingkat 33, sedangkan di Asia Tenggara menempati ranking 5.
Penting juga dicatat, bahwa selama empat tahun terakhir, UI berhasil mengembangkan sistem ICT terintegrasi, kuat dan modern. Kemampuan IT UI (650 mbps) saat ini adalah nomor dua di ASEAN setelah National University Singapore (800-1000 mbps).
Prestasi UI adalah langkah penting bagi bangsa dan negara untuk terus berjuang membangun peradaban yang lebih baik.
Untuk itu, cita cita UI guna terus mewujudkan terbentuknya manusia warga negara yang berperan penting dalam membangun peradaban Indonesia sebagai bangsa besar dan terhormat, harus kita dukung.
Marilah kita melihat masalah rumah tangga internal di UI secara fair dan bijaksana.
Bagaimanapun, UI telah membuktikan keberhasilannya dalam mewujudkan manusia warga negara yang seagung-agungnya melalui kerja keras seluruh civitas academica, dalam membangun Indonesia yang bermartabat dan dihormati di dunia internasional. (*)
Dosen FISIP Universitas Indonesia dan Dosen MIPA Universitas Indonesia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011