Lombok Tengah (ANTARA) - Sepintas tak ada yang istimewa dari sebuah pohon yang tumbuh menjulang melebihi rumah masyarakat Sasak Desa Adat Sade, Rembitan, Pujut, Lombok Tengah itu. Tak ada satupun daun tumbuh di sana, apalagi buah.
Tetapi, pohon yang dinamai pohon cinta ini menyimpan arti mendalam bagi pasangan muda-mudi suku Sasak yang serius menjalin kasih ke jenjang pernikahan.
Baca juga: Singgah ke Desa Sade Lombok di sela gelaran MotoGP Mandalika
Pohon cinta menjadi saksi bisu pertemuan rahasia mereka pada tengah malam. Ina Topan, perempuan berusia 26 tahun dengan nama asli Yuli Nawamalini menjadi salah satu dari sosok yang mengakuinya.
Beberapa tahun lalu, dia diminta sang kekasih yang tak lain sepupunya bertemu di pohon cinta pukul 24.00. Tak lama bersua, dia lantas dibawa menuju kandang sapi di kampung sebelah.
"'Dek, ayo menikah nanti malam. Saya tunggu di pohon cinta. Nanti jam 12 (malam) saya di atas pohon cinta'. Saya dibawa ke kandang sapi di kampung sebelah," kenang dia kepada ANTARA dikutip Sabtu.
Dalam tradisi masyarakat Sasak, perempuan yang dipilih untuk dipinang akan dibawa pergi semalam tanpa sepengetahuan orangtua mereka atau disebut kawin lari. Namun bukan dalam arti kawin lari sebenarnya, karena sang wanita semata dibawa pergi tanpa ada ritual apapun layaknya pernikahan pada umumnya. Orangtua yang tak bisa menemukan putri mereka dalam semalam harus menikahkannya dengan pemuda pilihan sang putri.
Baca juga: Dukung pemberdayaan perempuan, PNM beri bantuan sosial ke Desa Sade
"Pas malamnya enggak boleh kita disentuh-sentuh sebelum akad nikah. Dibawa sehari semalam. Enggak bisa dibawa orangtua harus sudah sehari semalam. Kalau ketemu bisa kita dibawa orangtua. Semisal, ibu bapak kita enggak mau menikahkan kita," tutur Ina Topan.
"Yang cewek harus pintar-pintar cari akal ke orangtua. Mungkin dia ngakalin untuk pergi buang air kecil atau ke mana. Setelah itu celingak-celinguk keluar," sambung dia.
Walau begitu, tak semua wanita Sasak di Desa Sade bertemu dengan pasangan terkasihnya di pohon cinta. Lelaki yang menyukai seorang wanita tak harus memastikan si wanita merasakan hal serupa. Dengan kata lain, wanita umumnya akan menerima pinangan seorang lelaki tanpa didasari rasa cinta.
"Tetapi kalau nikah sama sepupu walau kita tidak suka sama laki-lakinya kalau sudah suka laki-lakinya, ayo aja. Jadinya cinta tumbuh belakangan. Dulu saya suka sama suka. Alhamdulillah," ungkap Ina Topan yang kini dikaruniai dua orang anak itu seraya terkekeh.
Baca juga: NTB daftarkan Desa Wisata Sade ikut lomba ADWI Kemenparekraf
Warga Desa Adat Sade yang berprofesi sebagai pemandu, Bayu mengatakan masyarakat di tempatnya tinggal masih melanggengkan tradisi menikah tanpa tunangan atau lamaran. Pasangan yang sudah mengikat janji setia dan suka sama suka pada malam hari bertemu di pohon cinta sebelum meminta izin menikah dari ayah sang wanita.
"Setelah (bertemu di pohon cinta) itu dibawa kabur lari ke luar kampung. Besoknya langsung ada yang datang pihak laki memberitahu ke ayahnya perempuan bahwa anaknya tidak hilang, tetapi diculik sama si A. Kalau tidak ada utusan yang datang, orangtua kan mencari," papar Bayu.
Para perempuan di Desa Adat Sade umumnya menikah di usia 22 tahun. Bila melebihi usia itu, maka warga setempat menyebutnya perawan tua.
Setelah menikah, mereka biasanya membantu perekonomian keluarga dengan menjual hasil tenunan mereka. Sementara suami mendapatkan rezeki dari bertani.
Perempuan Sasak biasanya sudah diajari menenun sejak usia belasan tahun. Keterampilan menenun membantu mereka melatih kesabaran. Tenun yang mereka hasilkan nantinya dijual dengan harga beragam tergantung tingkat kesulitan pola dan luasan kain.
Baca juga: Sehari di Lombok; belanja tenun di Sade, senja di bukit Merese
Baca juga: Revitalisasi toilet Desa Sade Lombok jadi percontohan nasional
Baca juga: Presiden Jokowi kepincut kain tenun Lombok
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022