Jakarta (ANTARA) - Tak menunggu lama setelah Presiden Rusia Vladimir Putin memaklumatkan apa yang disebutnya "operasi khusus" di Ukraina, berbondong-bondong negara-negara di seantero Eropa segera meluapkan histeria mereka kepada Rusia.

Jangankan negara besar seperti Inggris dan Jerman, negara-negara kecil Eropa pun seperti tak mau ketinggalan berlomba menjatuhkan segala macam sanksi.

Jerman, Spanyol, Perancis, telah mendeklarasikan ruang udara mereka terlarang bagi penerbangan Rusia. Langkah tersebut menyusul Inggris dan negara-negara Skandinavia dan Baltik yang telah terlebih dulu memblokade ruang udara mereka dari Rusia.

Sebagai balasan, Negeri Beruang Merah ini juga menutup wilayah udaranya bagi maskapai dari 36 negara yang telah menjatuhkan sanksi serupa. Ongkos penerbangan sipil dipastikan meroket karena jarak penerbangan semakin jauh lantaran dipaksa berputar menghindari blokade udara ini.

Sanksi yang dirasa bakal memukul Rusia dengan hebat adalah penghapusan akses Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) kepada Rusia.

SWIFT adalah kode unik dari bank tertentu dan terdiri atas beberapa huruf yang berguna untuk kegiatan transaksi dari dalam ke luar negeri maupun sebaliknya di seluruh dunia. Larangan suatu negara mengakses jaringan SWIFT sama artinya dengan mengisolasi negara tersebut dari aktivitas ekspor-impor.

Bukan hanya pelaku usaha yang dirugikan, pemblokiran Rusia terhadap SWIFT ini dipastikan membuat jutaan warga Rusia merana. Kalangan pekerja di Rusia yang menerima penghasilan dari luar negeri tak bisa lagi menarik uang mereka karena akses SWIFT telah terblokir.

Perkembangan selanjutnya, sanksi-sanksi terbaru bukan lagi ditujukan kepada institusi pemerintahan atau bank-bank Rusia tetapi juga menjalar ke banyak aspek lain yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan politik dan kebijakan Kremlin.

Secuil contoh adalah festival film Cannes di Prancis tetiba menolak film-film Rusia turut berkompetisi. Panitia memastikan tidak akan menerima kehadiran delegasi resmi pemerintah Rusia untuk acara edisi ke-75 pada Mei mendatang sebagai bentuk solidaritas komunitas seniman Eropa kepada masyarakat Ukraina.

Di dunia olahraga, klub sepak bola Jerman Schalke 04 memastikan nama perusahaan gas Rusia Gazprom lenyap dari kostum tim. Klub yang berbasis di Gelsenkirchen itu biasanya merupakan salah satu tim dengan dukungan sponsor terbaik di Jerman dan mereka telah disponsori Gazprom sejak 2007.

Lalu klub Liga Premier Inggris Everton juga menghentikan semua kontrak sponsor komersial dengan tiga perusahaan Rusia yakni USM Holdings, MegaFon dan Yota. USM Holdings dan MegaFon memiliki kaitan dengan miliarder dan oligarki Alisher Usmanov yang dikenai sanksi oleh Uni Eropa.

Masih di Inggris, konglomerat Rusia pemilik Chelsea, Roman Abramovic, dibekukan aset-asetnya di negara Ratu Elizabeth itu.

Sanksi terhadap Abramovic bahkan berimbas kepada Chelsea yang tidak diizinkan membeli pemain baru atau memberi kontrak baru, penjualan merchandise pun ditutup dan tidak boleh lagi menjual tiket pertandingan tersisa musim ini dan melarang tiket laga tandang untuk musim mendatang.

Pada level global, Badan Sepak Bola Dunia (FIFA) turut menjatuhkan sanksi dalam rupa pelarangan memainkan pertandingan internasional di Rusia dan mengharamkan bendera serta lagu kebangsaan negara ini.

Kelak apabila tim nasional akan berkompetisi, mereka tidak lagi menyandang nama Rusia tapi Uni Sepak Bola Rusia (RFU) sebagai gantinya dan setiap pertandingan kandang akan digelar tanpa penonton di wilayah netral.

Cabang-cabang olahraga lainnya tidak mau kalah dan ikut menjatuhkan sanksi, antara lain Badan Bulu Tangkis Dunia (BWF) melarang pengibaran bendera kebangsaan Rusia dan Belarus, sebagai sekutu dekat Moskow, serta mengharamkan lagu kebangsaan kedua negara dalam semua turnamen BWF.

Bahkan Federasi Judo Internasional (IJF) membatalkan sabuk hitam Vladimir Putin dan mendepaknya dari jabatan presiden kehormatan organisasi internasional itu.

Semua ini memberikan gambaran betapa Barat benar-benar melampiaskan histeria mereka atas Rusia tanpa memikirkan lagi bagaimana implikasi dan konsekuensi jangka panjangnya.

Sejumlah warga Belanda menggelar aksi unjuk rasa menentang invasi Rusia atas Ukraina di luar gedung Pengadilan Internasional di The Hague, Belanda, pada 16 Maret 2022 (REUTERS/PIROSCHKA VAN DE WOUW)

Selanjutnya, Russophobia
Russophobia

Tidak hanya di Eropa, banyak konglomerat Rusia yang menyebarkan aset-asetnya di berbagai penjuru dunia, termasuk Amerika Serikat.

Bersamaan dengan meletusnya perang di Ukraina ini, pemerintah AS memastikan bakal menyita semua harta kekayaan warga Rusia yang tersimpan di negara tersebut.

Diskriminasi dan sentimen rasial di Amerika Serikat yang biasanya dialami orang-orang kulit hitam, hispanik, lalu bergeser kepada orang Asia, kini menyasar warga Rusia hingga tercipta sentimen anti Rusia (Russophobia). Kebencian itu kini tidak lagi mengarah kepada Vladimir Putin, tetapi warga sipil turut menjadi sasaran.

Sepanjang belasan hari berlangsungnya perang Ukraina ini memang terjadi proses kristalisasi image buruk Rusia di alam bawah sadar ratusan juta masyarakat negara-negara Barat, khususnya Eropa.

Russophobia di Eropa sudah sampai pada titik yang tidak bisa kembali lagi karena sedemikian dalam mengendap di kalangan akar rumput. Akan sulit merestorasi dalam waktu yang singkat.

Dalam pusaran konflik Ukraina ini, andil peran Volodymyr Zelenskyy boleh dikatakan sukses besar. Dengan bakat alaminya di dunia showbiz, Zelenskyy sungguh menguasai panggung dan berhasil menyentil sisi emosional Eropa pada saat yang tepat.

Ambil contoh permintaan Ukraina untuk masuk komunitas Uni Eropa (EU) bakal mulus seperti di jalan tol bebas hambatan. Politisi-politisi papan atas Eropa tidak berani menentang secara terbuka permintaan tersebut lantaran opini publik telah menciptakan sosok Zelenskyy sebagai seorang pahlawan.

Pada saat yang sama, dengan bantuan raksasa-raksasa media Barat dan beragam platform produk negara Paman Sam juga terbukti sukses menyensor apa pun informasi yang berasal dari Rusia, semisal kanal Rusia RIA Novosti yang dilarang Facebook.

Akibatnya masyarakat dunia tidak lagi bisa mendapatkan informasi secara seimbang, jauh lebih banyak gelontoran informasi dari perspektif media-media Barat. Informasi yang tidak sejalan tersensor. Dengan demikian, seantero dunia Barat dan kroni-kroninya telah berhasil mengisolasi Rusia dalam sekejap.

Dalam konflik ini, jika hanya menghadapi Zelenskyy seorang tentu sangat mudah bagi Kremlin melakukannya. Tetapi yang dihadapi Rusia sejak awal adalah Amerika dan NATO sehingga Moskow harus berhati-hati dalam melangkah. Termasuk apabila harus berperang untuk jangka waktu lebih lama lagi. Ukraina hanya sekadar proxy bagi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya untuk menggerogoti Rusia.

Dari sini jelas terlihat bagaimana karakter negara-negara Barat secara umum pada era modern, yakni takut melakukan sesuatu secara sendirian. Tetapi jika sudah ada satu negara yang berani memulai melempar batu, maka semua akan ikut keroyokan melempar batu yang bahkan negara terkecil pun takut tidak kebagian mengambil jatah lemparan batu.

Semua kegilaan Barat ini semata terjadi hanya berbasis ketakutan saja, takut akan pergeseran geopolitik dan khawatir hilangnya zona nyaman keamanan yang mereka nikmati selama ini.

Pada saatnya nanti, negara-negara Barat ini akan galau sendiri dengan sikapnya setelah urusan seni budaya, olahraga atau kehidupan warga yang jauh dari hiruk pikuk perpolitikan harus turut menanggung beban kebijakan politik suatu negara.

Copyright © ANTARA 2022