Kita harus bersama-sama menyelesaikan masalah atlet cilik, yang tidak hanya terjadi di olahraga berkuda namun cabang olahraga lainnya
Jakarta (ANTARA) - Pengurus Pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PP Pordasi) bersinergi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam rangka menyelesaikan persoalan joki cilik secara komprehensif.
Ketua Umum PP Pordasi Triwatty Marciano megaku telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan KPAI karena memiliki kesamaan tujuan untuk melindungi anak, khususnya joki cilik.
Dalam keterangan resmi, Jumat, kesepakatan antara Pordasi dan KPAI ini adalah tindak lanjut dari insiden joki pacuan kuda tradisional cilik yang meninggal dunia yakni MA alias Peci, yang berusia enam tahun asal Desa Dadibou, Kecamatan Woha, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Baca juga: PP Pordasi rilis kalender kejuaraan pacuan kuda pada tahun 2022
Dia meninggal dunia pada 9 Maret lalu setelah terjatuh saat berlatih di arena Pacuan Kuda Desa Panda, Bima, 6 Maret 2022. Insiden tersebut menimbulkan pro kontra terkait joki cilik. Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan penggunaan joki anak dalam kegiatan tersebut sangat mengancam keselamatan jiwa.
Dia berharap agar penggunaan joki anak di arena pacuan kuda segera dihentikan. "Karena ini adalah bentuk eksploitasi terhadap anak," kata Bintang Puspayoga. Kemudian ia juga mendorong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlindungan anak, Pordasi, tokoh agama, budayawan, dan akademisi untuk dapat mengedukasi masyarakat tentang aspek perlindungan anak.
Menanggapi kondisi yang berkembang, Triwatty mengatakan bahwa PP Pordasi merasa terpanggil. Dia mengatakan bahwa Anggaran Dasar (AD) Pordasi 2020 mengamanatkan agar memberikan kontribusi pada olahraga berkuda tradisional dan seni budaya. Amanat tersebut tertulis pada pasal 4 ayat (3) AD Pordasi 2020.
Menurutnya, keberadaan joki cilik bukan bagian dari eksploitasi anak. Namun bagian dari penyaluran minat dan bakat anak, sebagai media mencari bibit joki nasional bahkan internasional.
Tak hanya itu, pacuan kuda tradisional perlu dilestarikan mengingat budaya dan kearifan lokal yang bila dikelola dengan baik, kata Triwatty, dapat mendorong sektor pariwisata dan menjadi industri olahraga.
"Joki cilik ini tidak boleh menjadi sarana eksploitasi anak, namun pacuan kuda tradisional yang melibatkan anak-anak harus menjadi sarana penyalur minat dan bakat usia dini. Kita perlu mencari bibit atlet berprestasi yang kelak dapat mempersembahkan prestasi untuk Indonesia,” ujar Triwatty.
Sebagai salah satu anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, PP Pordasi juga bertanggung jawab pada bibit atlet olahraga prestasi amatir dan dapat diwadahi serta dibina sejak usia dini melalui pacuan kuda tradisional yang melibatkan joki cilik.
Harapannya, setelah berprestasi di tingkat pacuan tradisional, para joki dapat melanjutkan karirnya sebagai atlet olahraga amatir, hingga tingkat nasional yang dilombakan pada Kejuaraan Nasional (Kejurnas), Pekan Olahraga Nasional (PON), dan bahkan tingkat internasional.
Merujuk pada Peraturan Organisasi (PO) Pordasi, joki pacuan amatir yang dapat mengikuti Kejuaraan Nasional haruslah memiliki syarat minimal usia 18 tahun.
"Satu sisi, pacuan kuda tradisional harus kita lestarikan. Ini tidak hanya menjadi sarana penyalur bakat, namun juga dapat menjadi nilai tambah pada sektor pariwisata sehingga masuk kategori Sport Tourism," kata Triwatty.
Baca juga: Jawa Timur jadi tuan rumah Kejurnas Equestrian dan Pacuan 2022
Dia berharap akan lebih banyak sinergitas antar lembaga untuk menyelesaikan masalah joki cilik. Beberapa yang perlu terlibat seperti Kementerian PPPA, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
"Ini menjadi tugas dan tanggung jawab bersama bagi kementerian/lembaga terkait. Kita harus bersama-sama menyelesaikan masalah atlet cilik, yang tidak hanya terjadi di olahraga berkuda namun cabang olahraga lainnya. Atlet cilik atau usia dini yang merupakan cikal bakal atlet profesional ataupun amatir harus dijamin keselamatannya,” kata istri dari Ketua Umum KONI Pusat Marciano Norman tersebut.
Dalam kasus joki cilik, lanjut Triwatty diperlukan penyelesaian masalah secara nasional melalui Peraturan Presiden/Peraturan Menteri hingga regulasi tingkat daerah dengan adanya Peraturan Gubernur/Peraturan Daerah.
Baru pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pordasi 2022 pada Februari lalu, disepakati bahwa Sub Komisi Pacu adalah Sub Komisi Pacu Amatir, Sub Komisi Pacu Profesional, dan Sub Komisi Pacu Tradisional.
Pacuan kuda cilik masuk ke dalam Sub Komisi Tradisional mengingat kegiatan tersebut memang menjadi tradisi di berbagai daerah Indonesia, seperti NTB, NTT, Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Peraturan Organisasi (PO) akan mengatur agar penyelenggaraan Pacuan Kuda Tradisional memperhatikan keselamatan dan keamanan joki.
Pacuan Kuda Tradisional diharapkan dapat menjadi wadah penyaluran minat dan bakat atlet usia dini. Jika penyelenggaraan seluruh pacuan kuda tradisional merujuk regulasi yang Pordasi tetapkan dalam PO Sub Komisi Tradisional, keselamatan dan keamanan para joki cilik lebih terjamin.
"Keselamatan joki harus diutamakan, karena mereka adalah calon atau bahkan patriot olahraga bangsa yang berusaha membawa nama baik Indonesia melalui olahraga. Dalam kegiatan pacuan kuda, mereka wajib menggunakan helm pelindung, body protector, dan juga sepatu bagi kudanya, sesuai dengan ketentuan dalam Kesejahteraan Kuda (Horse Welfare), dengan menjaga arena yang digunakan layak untuk keselamatan kuda khususnya kaki kuda," kata Triwatty menjelaskan.
"Selain itu, penonton juga wajib dijamin keselamatannya melalui penertiban agar tidak ada kejadian penonton masuk ke dalam arena dan tertabrak kuda yang sedang berpacu,” ujarnya lagi.
Dalam waktu dekat, Triwatty beserta jajarannya akan melakukan audiensi dengan Menteri PPPA untuk menyelesaikan masalah kecelakaan joki cilik.
Baca juga: Sumsel dorong olahraga berkuda masuk kegiatan ekstra sekolah
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2022