Banda Aceh, (ANTARA News) - Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (BRR NAD) dan Nias, Kuntoro Mangkusubroto, mengatakan tidak mungkin kebutuhan kayu untuk pembangunan kembali daerah Serambi Mekah itu berasal dari Aceh sendiri karena kondisi hutannya di daerah itu saat ini dalam katagori kritis.
"BRR menolak jika kebutuhan kayu untuk rekonstruksi Aceh pasca bencana alam itu dari Aceh, sebab berdasarkan foto satelit mengambarkan kondisi hutan Aceh saat ini sangat kritis," katanya dalam pertemuan dengan panitia anggaran DPRD Provinsi NAD di Banda Aceh, Kamis (9/2).
Ditegaskan, komitmen BRR tetap untuk menolak kayu lokal digunakan sebagai barang material bangunan guna membangun infrastruktur publik dan perumahan penduduk yang telah hancur saat musibah gempa dan tsunami, 26 Desember 2004.
Kuntoro menjelaskan informasi yang diperoleh menyebutkan hutan Aceh dibabat tiga kali luas wilayah Singgapura setiap tahunnya. "Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) kini kondisinya sangat terancam," tambah dia.
Bahkan, jelas Kuntoro, Pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan dikabarkan telah mengeluarkan izin pembukaan kembali Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Semeulue, yang khabarnya izin operasional HPS tersHbut telah melebihi luas daratan pulau itu.
"Itu harus dihentikan dan saya mohon DPRD NAD bersama-sama memperjuangkan agar hutan di Aceh tetap bisa terjaga, meski kayu untuk proses rekonstruksi Aceh pasca bencana alam cukup banyak dibutuhkan," tambahnya.
Informasi lain menyebutkan izin operasional bagi HPH di Seumeulue itu mencapai sekitar 150 ribu hektare, sementara total luas daratan pulau tersebut berkisar 200 ribu hektare.
Oleh karenanya, Kuntoro, mengatakan komitmen BRR tetap akan mengusahakan untuk mendatangkan kayu dari luar provinsi selain menggunakan material bangunan bukan kayu untuk membangun kembali rumah serta infrastruktur publik lainnya.
"Kita akan membangun rumah cepat dengan sistem pabrikasi. Artinya, semua material bangunan disiapkan langsung dari pabrik seperti yang selama ini dipraktekkan organisasi migrasi internasional (IOM) yang membangun rumah-rumah sementara ramah lingkungan," kata dia.
Selain itu, Kuntoro juga minta DPRD dan Pemerintah setempat untuk memperhatikan usaha galian C untuk kebutuhan material bangunan, sehingga tidak berdampak terganggunya ekosistem lingkungan hidup.(*)
Copyright © ANTARA 2006