Semarang (ANTARA News) - Praktisi hukum Todung Mulya Lubis menilai perlu adanya suatu sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia yang transparan dan akuntabel untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
"Selain itu juga perlu adanya sistem seleksi pada promosi atau demosi jabatan serta pengawasan internal dan eksternal dalam suatu lembaga pemerintahan, tidak hanya remunerasi," katanya dalam diskusi publik dengan tema "Menakar Komitmen Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Jawa Tengah", di Semarang, Kamis.
Menurut dia, jika hal-hal tersebut termasuk di antaranya perbaikan sistem tidak dilakukan mulai sekarang, maka jangan berharap jumlah kasus korupsi di Indonesia dapat berkurang.
Todung yang menjabat Ketua Dewan Pengurus "Transparency International Indonesia" juga menyoroti lembaga peradilan yang dianggap tidak konsisten dalam pemberantasan kasus korupsi.
"Majelis hakim yang menyidangkan kasus korupsi hanya menjatuhkan vonis ringan kepada para koruptor yang terbukti bersalah dan tidak dimiskinkan sehingga membuat pelaku korupsi tidak jera," ujarnya.
Ia mengungkapkan, saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi salah satu aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi sedang mengalami pelemahan di Mahkamah Konstitusi.
"KPK saat ini dilemahkan karena dukungan finansial yang tidak cukup dan dilemahkan karena ketidaktegasan kepempimpinan nasional dalam memberantas korupsi," katanya.
Menurut dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus turun tangan langsung dalam memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Presiden jangan hanya berpidato dan memberikan pernyataan terkait dengan penanganan kasus korupsi karena rakyat sudah bosan dengan hal itu dan ingin tindakan nyata," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Slamet Haryanto yang menjadi salah satu pembicara dalam diskus publik tersebut menilai perlu adanya perubahan paradigma hukum yang progresif di Indonesia.
"Hukum progresif menganut cara pandang yang cukup komprehensif terhadap hukum sehingga hukum tidak menjadi milik para penguasa saja, melainkan juga milik rakyat biasa," katanya.
(U.KR-WSN/B015)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011