PBB, New York (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Rabu, menegaskan dukungan AS terhadap Israel dan memperingatkan bahwa permohonan Palestina untuk menjadi negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan tindakan sepihak dan karenanya tidak akan terwujud.
"Komitmen Amerika bagi keamanan Israel tidak akan goyah. Amerika dan Israel memiliki persahabatan yang dalam dan akan terus berlanjut," kata Obama saat menyampaikan pidato pada Sidang Majelis Umum ke-66 PBB di Markas Besar PBB, New York.
Penegasan Obama itu dinyatakan dua hari menjelang Presiden Palestina Mahmud Abbas mengumumkan keputusan opsi apa yang akan akan dipilih menyangkut niat Palestina mengajukan permohonan menjadi anggota PBB.
Pada Jumat (23/9), Presiden Mahmud Abbas akan mengungkapkan permohonan Palestina sebagai negara anggota PBB dengan status penuh ataukah sebagai negara pengamat non-anggota PBB.
Saat ini Palestina cenderung akan maju dengan opsi pertama, mengajukan permohonan sebagai negara anggota PBB.
Itu berarti Palestina harus mendapat rekomendasi melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, yaitu dewan yang terdiri atas lima anggota tetap dengan hak veto (penolakan) --AS, Inggris, Prancis, China, Rusia-- dan 10 anggota tidak tetap --Bosnia-Herzegovina, Brazil, Gabon, Jerman, India, Kolombia, Lebanon, Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan.
Pidato yang disampaikan Obama pada Rabu pagi itu semakin mempertegas niat AS untuk mengganjal Palestina di Dewan Keamanan dengan menggunakan hak veto.
Resolusi hanya dapat disahkan jika setidaknya sembilan negara memberikan suara mendukung dan tidak ada veto dari satupun anggota tetap Dewan Keamanan.
AS bersikeras bahwa negara Palestina merdeka dan berdaulat hanya dapat terwujud jika Palestina dan Israel mencapai kesepakatan melalui proses perundingan perdamaian.
"Perdamaian... harus dicapai melalui perundingan. Dengan melakukan tindakan sepihak di PBB, Palestina tidak akan menjadi sebuah negara ataupun menentukan hak rakyatnya sendiri," kata Obama.
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Barack Obama pada awal September 2010 berhasil menghidupkan kembali negosiasi perdamaian secara langsung antara Israel dan Palestina --yang sebelumnya terhenti selama dua tahun, yaitu dengan mempertemukan PM Israel Benyamin Netanyahu dan Presiden Mahmud Abbas di meja perundingan.
Namun kemudian perundingan antara pemimpin Israel dan Palestina itu menjadi buntu karena pemerintahan Israel menolak memperpanjang "moratorium" --penghentian sementara pembangunan permukiman oleh Israel di wilayah Palestina yang didudukinya di Tepi Barat.
Di tengah seruan masyarakat internasional, termasuk Kuartet mediator perdamaian di Timur Tengah (terdiri atas PBB, AS, Rusia, dan Uni Eropa), setelah tenggat moratorium berakhir, Israel kembali mengerahkan buldozer-buldozer untuk melakukan konstruksi pemukiman di Tepi Barat.
Aksi-aksi provokatif Israel itu akhirnya memaksa Palestina membuat keputusan menarik diri dari perundingan langsung dengan Israel.
Sementara Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa yang ditemui di sela-sela Sidang Majelis Umum ke-66 PBB, Rabu, menegaskan bahwa permohonan Palestina untuk menjadi negara anggota PBB justru sesuai dengan proses perundingan dan dapat dibuat selaras dengan visi "dua negara (Israel dan Palestina) yang hidup berdampingan".
Pandangan Indonesia itu, menurutnya, selama ini juga disampaikan kepada pihak AS serta negara-negara Kuartet lainnya.
"Karena mungkin langkah itu (permohonan Palestina menjadi negara anggota PBB, red) bisa menciptakan momentum ke arah dihidupkannya kembali proses perdamaian," ujarnya. (TNY/Z002)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011