Orang-orang berdiri di halte bus di depan papan dengan potret Presiden Rusia Vladimir Putin di Simferopol, (11/3/2022). Papan itu berbunyi: "Kekuatan sebenarnya adalah keadilan dan kebenaran, yang ada di pihak kita" (kiri), "Rusia tidak memulai perang, Rusia yang mengakhirinya" (tengah), "Kami menginginkan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina". ANTARA FOTO/REUTERS/Alexey Pavlishak/aww.

Mengusik sensor ketat

"Kami diam pada 2014 ketika semua ini berawal. Kami tidak turun protes ketika Kremlin meracun (tokoh oposisi Alexei) Navalny. Kami cuma diam mematung melihat rezim yang tak manusiawi ini," kata Ovsyannikova.

Di ujung kalimatnya, perempuan jurnalis ini mengajak rakyat Rusia bangkit bersuara, "Keluarlah untuk protes, jangan takut, mereka tak bisa memenjarakan kalian sekaligus."

Mengingat kerasnya kalimat dia yang semestinya membuat penguasa Rusia dan Putin kebakaran jenggot, menjadi mengherankan jika Ovsyannikova akhirnya dibebaskan dengan cuma membayar denda sebesar Rp3,9 juta.

Tatiana Stanovaya, analis politik di Rusia, menilai hukuman yang begitu ringan itu menunjukkan ada perbedaan pandangan di kalangan penguasa Kremlin tentang bagaimana menangani kasus Ovsyannikova atau mungkin Kremlin khawatir perlakuan terlalu keras kepada ibu dua anak itu bisa menjadi bumerang kepada mereka.

Namun beberapa jurnalis terkemuka yang bekerja untuk media pemerintah sudah menyatakan mundur sejak Ovsyannikova melancarkan protes itu.

Dalam tulisannya pada laman The Guardian, Rabu 16 Maret, Denis Kataev (wartawan Rusia yang juga host TV independen Rusia, TV Rain) menyebutkan sejumlah wartawan terkenal pada televisi-televisi milik pemerintah Rusia, termasuk Zhanna Agalakova and Vadim Glusker, berencana mundur dengan alasan lingkungan kerja seperti disebut Marina Ovsyannikova itu.

“Saya tertarik kepada seberapa besar tingkat ketidakpuasan di dalam sistem ini,” kata Tatiana Stanovaya seperti dikutip The Guardian. "Apakan sekarang gelombang ini tidak menciptakan gaung apa-apa atau kita bakal menyaksikan protes serupa menjadi kian sering terjadi."

Tapi mungkin juga aksi Marina Ovsyannikova bergaung di negerinya, sekalipun media massa Rusia begitu dikekang.

Gaung itu terutama mencapai kaum muda Rusia yang tak lagi mempercayai Putin sampai pada 2012 melancarkan protes besar di kota-kota terbesar Rusia menentang kecurangan dalam pemilu tahun itu.

Hanya saja, akses kepada media massa independen dan juga media sosial, kini semakin dibatasi. Ini membuat media massa pemerintah, khususnya televisi, menjadi sumber utama informasi bagi kebanyakan orang.

Padahal dari pengakuan Marina Ovsyannikova, informasi ini sudah sedemikian direkayasa, termasuk mengenai apa yang terjadi dalam agresi Rusia di Ukraina.

Untuk itu, apa yang dilakukan Marina Ovsyannikova menjadi sangat menarik, karena selain mengusik lingkungan media massa pemerintah Rusia yang sangat disensor, tetapi juga bisa menjadi tamparan keras terhadap kredibilitas Vladimir Putin.

Baca juga: Menelisik latar konflik Rusia-Ukraina
Baca juga: Siaga nuklir dan dugaan Vladimir Putin tidak stabil

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2022