Jakarta (ANTARA) - Marina Ovsyannikova seketika menyita perhatian Eropa dan Rusia ketika warga negara Rusia yang bekerja di media pemerintah Rusia ini melancarkan protes anti perang yang tersiarkan langsung oleh televisi yang sedang disaksikan jutaan pemirsa Rusia, walau tak sengaja.
Senin malam pekan ini, jurnalis televisi Channel One atau Pervyy Kanal dalam bahasa Rusia itu, melancarkan protes menentang perang sambil membawa spanduk anti-perang dari kertas karton, tepat di belakang presenter yang sedang membacakan berita.
Channel One yang juga dikenal Obshchestvennoye Rossiyskoye Televideniye adalah televisi pemerintah Rusia yang mengudara sejak 1991.
Produser Channel One itu membuat geger ketika nyelonong masuk ruang studio saat presenter tengah membacakan berita, dan lalu mengacung-acungkan spanduk berisi tulisan dalam bahasa Inggris dan bahasa Rusia, menentang invasi negaranya di Ukraina.
Spanduk berupa sehelai karton itu ditulisi kalimat "No War" atau jangan ada perang. Selebihnya ditulisi kalimat berbahasa Rusia yang kemudian diketahui berarti, "Hentikan perang. Katakan tidak kepada perang. Jangan percayai propaganda, mereka membohongi kalian semua dari sini."
"Mereka" yang dimaksud Ovsyannikova adalah pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin, sedangkan yang dimaksud "kalian" adalah pemirsa televisi yang adalah rakyat Rusia.
Laman Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU) menyebutkan Channel One Rusia memiliki 250 juta pemirsa di seluruh dunia dan siarannya mencakup 99,8 persen wilayah Federasi Rusia. Saluran televisi ini amat populer di Rusia.
Segera setelah protes itu, Ovsyannikova menghilang, sampai pengacara dan kolega kebingungan mencarinya.
Semua orang mengkhawatirkan keselamatannya karena dia terlalu berani ketika ada undang-undang yang bisa membuatnya dipenjara 15 tahun akibat menentang aksi Rusia di Ukraina.
Sehari kemudian Ovsyannikova muncul dari sebuah pengadilan. Rupanya dia telah menjalani peradilan.
Bertentangan dengan kekhawatiran banyak orang, wanita dua anak ini tak terlihat telah mendapatkan perlakuan buruk. Sebaliknya dia hanya denda 30.000 rubel (Rp3,9 juta).
Denda itu tergolong ringan untuk protes yang mengejutkan jutaan pemirsa televisi di Rusia dan mendorong Presiden Prancis Emmanuel Macron menawarkan suaka diplomatik dan berjanji mengangkat kasusnya saat bertemu dengan Putin suatu saat nanti.
Baca juga: Menlu Inggris: Saatnya Barat jadi lebih keras terhadap Putin
Selanjutnya : malu sebarkan propaganda
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2022