PBB, New York (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Palestina Riad al-Maliki dan Menlu Marty Natalegawa pada Selasa petang melakukan pertemuan bilateral di sela-sela rangkaian Sidang Majelis Umum ke-66 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Pertemuan ini membahas berbagai skenario menyangkut rencana Palestina mengajukan permohonan sebagai negara anggota penuh PBB, termasuk kemungkinan upaya tersebut gagal di tengah ancaman veto oleh Amerika Serikat di tingkat Dewan Keamanan.
Menurut Menlu Marty, dalam pertemuan yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, itu Menlu al-Maliki menyampaikan langkah-langkah yang akan ditempuh Palestina dalam beberapa hari ke depan ini.
Keputusan Palestina untuk secara resmi mengajukan permohonan sebagai negara anggota PBB dengan status penuh atau sebagai negara pengamat non-anggota PBB akan ditentukan saat Presiden Palestina Mahmud Abbas menyampaikan pidato pada Jumat (23/9) ini dalam Debat Umum Sidang Majelis Umum (SMU) ke-66 PBB.
Hingga saat ini, Palestina cenderung akan maju dengan opsi pertama, yaitu mengajukan permohonan sebagai negara anggota PBB dengan status penuh kendati AS --sebagai salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan-- mengancam akan menggunakan hak veto (penolakan) terhadap niat Palestina itu.
Niat Palestin itu telah disampaikan Presiden Mahmud Abbas dalam pertemuannya dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada Senin (19/9).
"Tentunya ada kemungkinan usulan ini akan ditentang melalui penggunaan hak veto dari salah satu negara. Itu merupakan salah satu kemungkinan. Skenario seandainya itu terjadi, (tadi kita membicarakan) bagaimana langkah-langkah berikutnya," kata Marty tentang pertemuannya dengan al-Maliki.
Kepada wartawan, Marty menegaskan bahwa opsi apapun yang dipilih oleh Palestina maupun hasil yang muncul dari proses pengajuan keanggotaan Palestina di PBB tidak akan menyurutkan dukungan penuh Indonesia bagi upaya Palestina, terutama melalui kerangka Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
"Tapi kita juga perlu memastikan bentuk dukungannya harus yang cerdas, yang tepat. Oleh karena itu, melalui komunikasi (pertemuan dengan Menlu al-Maliki, red) tadi, kita mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan ini," ujar Marty.
Ia juga menekankan bahwa meskipun Palestina mengupayakan keanggotaannya di PBB, hal itu bukan berarti masalah proses perdamaian Palestina-Israel diterlantarkan.
"Justru ini sebenarnya suatu kenyataan pilihan yang dipaksakan kepada Palestina karena tidak adanya kemajuan dalam proses perdamaian. Tetap prioritas adalah terhadap proses perdamaian dan diharapkan melalui upaya ini proses perdamaian akan dapat dihidupkan kembali," katanya.
Untuk menjadi negara anggota status penuh PBB, permohonan Palestina harus mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu --melalui sebuah resolusi-- dari Dewan Keamanan, yaitu dewan yang beranggotakan 15 negara.
Resolusi bisa disahkan jika didukung setidaknya oleh sembilan negara anggota dan tidak mendapat veto dari anggota tetap Dewan.
Anggota tetap Dewan Keamanan dengan hak veto terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, China dan Rusia sedangkan 10 negara yang saat ini menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan terdiri dari Bosnia-Herzegovina, Brazil, Gabon, Jerman India, Kolombia, Lebanon, Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan.
Menlu Marty menyiratkan bahwa proses perolehan dukungan sembilan negara di Dewan Keamanan bagi upaya Palestina untuk menjadi negara anggota PBB belum tentu berjalan mulus.
"Memang perjuangan pertama adalah memperoleh sembilan dukungan, penggunaan veto itu akan relevan kalau sudah diperoleh sembilan dukungan.... Saya rasa masih banyak perjuangan yang sangat berat di hadapan kita. Kita kan pernah duduk (sebagai anggota) di Dewan Keamanan, mengetahui sendiri betapa akan banyak dorongan dan desakan," katanya.
Wakil Ketua Komisi I-DPR Hayono Isman yang juga hadir dalam pertemuan bilateral Menlu Marty-Menlu al-Maliki, memiliki pandangan sama mengenai jalan berliku yang akan dialami Palestina di tingkat Dewan Keamanan.
"Tidak mudah karena saya mencermati ada upaya intimidasi dari negara tertentu kepada negara-negara lain yang mendukung Palestina. Dalam politik itu hal yang biasa sebetulnya. Tapi sekali lagi, tentunya kita mengimbau kepada negara-negara yang pro demokrasi, pro HAM, seharusnya mereka lebih paham bagaimana melihat penderitaan rakyat Palestina," kata Hayono.
"Mau berapa lama lagi mereka dihukum oleh dunia, oleh ketidakadilan, terutama bagi negara yang mengakui sebagai negara demokrasi, penegakan HAM. Semestinya mereka lebih tahu bagaimana melayani aspirasi atau keinginan yang murni dari rakyat Palestina," tambahnya.
Sementara itu, ketika menjawab pertanyaan wartawan usai bertemu Marty, Menlu Riad al-Maliki mengaku pihaknya sangat yakin akan mendapat dukungan dari setidaknya sembilan negara di Dewan Keamanan, "sejauh kami memiliki teman-teman seperti Indonesia yang mengerti aspirasi kami".
"Sejauh kami dapat dukungan dari negara-negara bersahabat, saya cukup yakin, kami akan mendapat sembilan suara dukungan," kata al-Maliki.
(TNY)
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011