Jakarta (ANTARA News) - Industri minyak dan gas bumi (migas) nasional hingga kini masih kesulitan mendapatkan dana perbankan nasional padahal dukungan dana perbankan amat penting untuk mempercepat laju pengembangan industri migas nasional. "Dukungan permodalan baru bisa terwujud jika pemerintah punya komitmen yang kuat untuk lebih memberdayakan peran perusahaan migas nasional dalam pengelolaan ladang migas di negeri ini," kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Asperminas) Effendi Siradjuddin, kepada pers, di Jakarta, Kamis. Effendi menyatakan, sejauh ini hampir sebagian besar bank di dalam negeri enggan untuk mengucurkan kreditnya kepada pengusaha migas nasional. Alasan mereka hampir sama, bisnis pengusahaan hulu migas yaitu pemboran dan produksi punya risiko kegagalan yang cukup tinggi dan investasinya sangat besar. Menurut Effendi, alasan tersebut benar untuk lapangan baru yang dalam tahap eksplorasi atau tahap mencari yang masih belum pasti. Padahal, sebagian besar cadangan minyak di Indonesia, terutama yang sudah masuk tahap eksploitasi atau produksi atau pernah berproduksi, tingkat risiko kegagalannya sangat kecil. "Pemahaman seperti inilah yang perlu segera kita sosialisasikan ke kalangan bank di dalam negeri," kata Effendi yang dalam kesempatan itu didampingi para pengurus Asperminas lainnya, antara lain Sam Simorangkir, Rukmana H dan Widartono Utoyo. Dikatakan, resiko kegagalan tinggi dan investasi yang besar dalam pengusahaan migas, biasanya terjadi pada ladang minyak yang masih dalam tahap eksplorasi atau pencarian cadangan baru terutama pada "frontier area" atau daerah yang sulit dijangkau atau lepas pantai dan laut dalam. Tetapi untuk lapangan minyak yang sedang berproduksi baik lapangan besar yang produksinya di atas 30.000 barel per hari (bph), lapangan menengah 5.000-30.000 bph maupun lapangan kecil atau marginal di bawah 5.000 bph, resiko kegagalan itu praktis bisa dibilang tidak ada lantaran tingkat produksi dan cadangan minyaknya tinggal diambil untuk kemudian dijual. Demikian juga untuk lapangan yang pernah berproduksi, setelah dilakukan "reengineering" (pengusahaan kembali), resikonya kecil karena cadangan dan investasinya dapat ditentukan secara teliti. Sebagai contoh, untuk lapangan marginal dari kebutuhan modal investasi tidak terlalu besar, masih di bawah 15 juta dolar AS (sekitar Rp150 miliar). Itu pun dibutuhkan secara bertahap selama 2 sampai 3 tahun sehingga lebih mengurangi resiko, katanya. Namun, anehnya mayoritas bank di Indonesia masih merasa ragu untuk mengucurkan kreditnya kepada perusahaan migas nasional. "Padahal cadangan minyak yang sudah terbukti ada itu kan sebenarnya dapat merupakan agunan bagi pengusaha kepada pihak bank seperti yang dilakukan di negara lain. Tapi, faktanya teman-teman pengusaha migas masih diwajibkan pihak bank untuk memenuhi persyaratan collateral (agunan tambahan) misalnya berupa lahan, properti atau barang kekayaan lainnya, yang pada umumnya tidak sanggup dipenuhi oleh pengusaha migas nasional," katanya. Di sisi lain dari total ketersediaan dana yang dimiliki kalangan perbankan nasional seperti yang terungkap di media, yang diperkirakan mencapai hampir Rp1.000 triliun, bilamana 1-2 persen saja bisa dibilang lebih dari cukup untuk membiayai pengusahaan migas di tanah air. Sebagai gambaran, kebutuhan biaya untuk pengusahaan migas oleh perusahaan asing maupun nasional di Indonesia yang tahun lalu sekitar 7 miliar dolar AS (sekitar Rp70 triliun), dana yang telah dikucurkan oleh perbankan nasional saat ini baru mencapai kurang lebih 150 juta dollar AS.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006