...Adopsi teknologi diharapkan dapat membuat pemanfaatan input pertanian menjadi lebih maksimal.
Jakarta (ANTARA) - Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan adopsi teknologi digital di sektor pertanian Indonesia perlu dipercepat untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja sektor pertanian.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan penggunaan teknologi digital yang tepat guna dapat membantu petani dalam meningkatkan daya saingnya khususnya dalam rantai pasok global .
"Rendahnya produktivitas masih menjadi masalah dalam sektor pertanian Indonesia. Adopsi teknologi diharapkan dapat membuat pemanfaatan input pertanian menjadi lebih maksimal," kata Azizah.
Baca juga: Presidensi G20 dorong peningkatan pertanian lewat pertukaran teknologi
Penelitian CIPS menunjukkan produktivitas padi, kedelai, dan bawang merah cenderung landai dalam beberapa tahun terakhir dengan masing-masing di angka 5 ton per hektare gabah kering giling (GKG), 1,5 ton per hektare biji kering, dan 10 ton per hektare. Hanya produktivitas jagung menunjukkan tren yang meningkat dengan capaian 5,5 ton pipilan kering per hektare pada 2019 lalu.
Menurut Azizah, adopsi teknologi digital di hulu dapat membantu peningkatan produktivitas pertanian. Penerapan Internet of Things (IoT) dalam pertanian, contohnya, mampu membantu petani mendeteksi kondisi tanah, cuaca, memantau hama dan lain sebagainya.
Sementara itu di hilir, lanjut dia, kehadiran teknologi digital pertanian dapat membuka akses yang lebih besar untuk pada petani kepada pasar. Teknologi dapat menghubungkan petani langsung dengan konsumen, sehingga hal ini dapat mempersingkat rantai pasok. Kehadiran beberapa marketplace produk pertanian membantu menjalankan fungsi tersebut.
Azizah menambahkan, para petani juga dapat mengurangi ketergantungannya pada tengkulak melalui pemanfaatan teknologi digital. Selama ini, petani lebih banyak menjual hasil pertanian dalam jumlah besar ke tengkulak. Hal ini menyebabkan petani tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk menentukan harga produsen.
“Di samping itu, petani juga memiliki akses terhadap informasi harga komoditas di pasaran yang akurat dan transparan. Pemahaman yang kuat terhadap dinamika harga komoditas pertanian dapat membantu petani untuk menentukan harga produsen secara lebih terukur,” jelas Azizah.
Baca juga: BI dorong penerapan digitalisasi pertanian di Sumsel
Azizah menyayangkan belum semua petani memiliki akses terhadap teknologi digital pertanian. Hal ini dikarenakan masih banyaknya tantangan mendasar yang menghalangi petani untuk menggunakan teknologi digital, misalnya belum memadainya infrastruktur pertanian yang mendukung serta minimnya pemahaman dan literasi digital.
Selain itu, teknologi yang dimaksud juga biasanya relatif sulit dijangkau oleh petani, harga yang relatif tinggi, dan belum tentu sesuai dengan skala usaha petani akhirnya membuat mereka enggan mengadopsi teknologi tersebut.
Menurut data BPS, generasi petani yang berusia di bawah 40 tahun di sektor pertanian hanya sebesar 8 persen dari total jumlah petani di Indonesia, mayoritas pekerja sektor pertanian Indonesia sudah berusia di atas 45 tahun.
Adopsi teknologi digital di pertanian juga dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi di sektor pertanian. Investasi dalam negeri maupun asing dapat memungkinkan adanya transfer teknologi serta pelatihan sumber daya manusia. Regulasi yang terbuka pada investasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan sangat penting untuk memastikan modernisasi dan adopsi teknologi digital yang bermanfaat bagi petani.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022