Jakarta (ANTARA) - Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai peningkatan besaran Domestic Market Obligation (DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen akan mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia dan dinilai akan mendistorsi pasar global dengan berimplikasi pada hubungan Indonesia dan mitra dagangnya.
“Kebijakan ini juga berpotensi memicu retaliasi atau pembalasan dari mitra dagang dan akan mempengaruhi kestabilan harga komoditas kelapa sawit di pasar internasional,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Rabu.
Felippa mengatakan bahwa sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan komitmennya pada kontrak-kontrak yang sedang berjalan antara produsen kelapa sawit dengan pembeli. Bertambahnya kewajiban untuk memenuhi ketersediaan crude palm oil (CPO) pada pasar domestik, kata dia, dikhawatirkan dapat membuat komitmen tersebut tidak tercapai.
Baca juga: Gabungan Industri Minyak Nabati keberatan penetapan DMO 30 persen
Menurutnya, jika banyak komitmen ekspor atau perdagangan yang tidak terpenuhi maka Indonesia bisa terlihat seperti mitra dagang yang tidak bisa diandalkan. Padahal, saat ini Indonesia sebagai tuan rumah G20 punya posisi kuat untuk memimpin koordinasi dan kerjasama internasional demi pemulihan ekonomi global.
Dia mengatakan bahwa kebijakan dan posisi Indonesia akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kerja sama dan komitmen antar-negara untuk menjaga kelancaran perdagangan yang sangat dibutuhkan untuk memitigasi krisis harga pangan dunia. Indonesia, kata dia, seharusnya bisa membuktikan komitmennya untuk menjaga terus berjalannya kerja sama tersebut.
Felippa memaparkan, tidak semua jenis minyak sawit bisa dipakai untuk minyak goreng. Sementara itu, Permendag Nomor 8 Tahun 2022 memperluas DMO ke 60 HS yang akan berdampak pada turunan kelapa sawit yang tidak ada hubungannya dengan minyak goreng (oleochemical), ikut terkena dampak kenaikan DMO.
Baca juga: Kemenperin: Industri makanan pengguna minyak sawit tak pakai hasil DMO
“Pelarangan ekspor membuat supplier palm oil menyuplai industri oleokimia (dan biodisel). Makanya industri lain ikutan kena,” katanya.
Kesulitan bagi swasta untuk memenuhi kenaikan besaran DMO juga diperparah oleh adanya Harga Eceran Tertinggi (HET) karena menghilangkan insentif pengusaha untuk menjual minyak goreng ke pasar dan membuat harga semakin sulit untuk turun ke tingkat normal.
Menurut dia, HET akan sulit dicabut karena mencabut HET berarti harga akan naik dan hal tersebut menguntungkan spekulan. Meski begitu, jika HET dibuka dan spekulan melepas minyak goreng, seharusnya harga akan turun secara sendirinya meski kemungkinan masih di atas HET.
Felippa mengatakan solusi menambah bea ekspor yang meskipun tidak ideal, bisa lebih kecil distorsi pasarnya daripada DMO ataupun pelarangan ekspor. Kemudian hasil dari pengenaan bea ekspor tambahan tersebut dapat digunakan untuk mensubsidi kebutuhan minyak goreng masyarakat secara langsung.
Pungutan ekspor industri kelapa sawit dananya dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang berada di bawah Kementerian Keuangan. “Pengenaan bea keluar memang pilihan yang tidak mudah di saat seperti sekarang ini. Tetapi Indonesia dapat tetap menjaga kinerja perdagangannya sembari turut memastikan pasokan CPO yang dibutuhkan industri minyak goreng tetap terjaga,” kata Felippa.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022