Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VIII DPR RI Muhammad Oheo Sinapoy mengharapkan hadirnya RUU Jaminan Produk Halal (JPH) mampu melindungi konsumen atas produk-produk yang dikonsumsi selama ini, namun tidak menampik pula kemungkinan adanya beberapa permasalahan di lapangan terkait penerapan UU ini kelak.
Karenanya agar regulasi tentang produk halal ini bisa berhasil di implementasikan dengan baik, DPR RI siap menampung perusahaan yang masih merasa keberatan, kata Sinapoy di Jakarta, Senin.
Dia menegaskan setelah adanya regulasi diharapkan pengusaha atau produsen bisa mengikutinya.
"Tujuan RUU JPH sebenarnya untuk melindungi konsumen. Jadi tidak ingin memberatkan pihak manapun," kata Sinapoy.
Kalau kemudian ada pihak produsen yang keberatan dengan hadirnya RUU JPH, pihaknya mempersilahkan agar mengadukan permasalahannya.
"Silakan diajukan apa-apa permasalahannya. Nanti akan kami kawal dalam regulasi yang dibuat pemerintah," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, RUU ini dikeluhkan oleh berbagai pihak, karena hanya akan menambah rantai perizinan sebelum distribusi yang akan menyebabkan mahalnya harga.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai, penerapan sertifikasi produk halal tersebut akan sulit karena produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia sangat banyak dan itu semua harus diaudit.
"Semestinya yang dibuat itu Undang-Undang tidak halal, karena barang yang tidak halal lebih sedikit," kata Sofjan.
Menurut dia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku auditor produk akan kesulitan menelusuri adanya kandungan halal pada produk tertentu.
Sofyan mengungkapkan sebuah produk obat saja, jumlah produk turunannya bisa mencapai ratusan dan harus ditelusuri asal-usulnya satu persatu.
Registrasi sertifikasi halal, juga tidak efisien bagi industri karena biayanya mahal.
Dia juga menambahkan industri juga akan kehilangan banyak waktu selama proses audit dilakukan dan ujung-ujungnya, konsumen yang akan menanggung dampaknya berupa kenaikan harga produk obat.
"Masyarakat kita belum mampu membayar halalnya," tambahnya.
Ditegaskannya, kalau UU alal itu dijadikan senjata untuk mencari uang maka industri farmasi Indonesia tidak berkembang.
"Menurut saya UU seperti ini tak perlu ada, ini menghambat perkembangan industri farmasi kita. Negara-negara di Arab saja yang muslimnya hebat tidak membuat UU seperti ini," ujarnya.
Adanya lisensi halal bukan jaminan produk Indonesia otomatis diterima di Timur Tengah maupun negara-negara lain.
"Produk Indonesia tetap harus bersaing dengan produk-produk dari Amerika Serikat, China, dan negara Eropa," imbuhnya.
Sofjan mencontohkan, selama ini, untuk berjualan di Timur Tengah memang harus mengenakan stempel halal.
"Itu memang wajib, tapi tidak serta-merta produk kita bisa diterima begitu saja, karena negara-negara lain juga melakukan hal yang sama," kata Sofyan. (*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011