Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bersama Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) tidak merekomendasikan anggota Komisi III DPR (nonaktif), Topane Gayus Lumbuun, untuk menjabat sebagai hakim agung.
"Hari ini kami akan menyampaikan beberapa catatan terhadap para calon hakim agung kepada Komisi III DPR dan terkait dengan catatan integritas yang tidak baik dari para calon sesuai catatan koalisi, misalnya Pak Gayus Lumbuun," kata perwakilan dari LeIP, Dimas Prasidi, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Terkait tidak direkomendasikannya Gayus Lumbuun, lanjut Dimas, karena pertimbangan beberapa hal seperti latar belakang Gayus yang berasal dari kalangan politisi dan sikap politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu yang terkenal temperamental.
"Kami melihat sisi kenegaraan dari seorang Gayus Lumbuun tidak ada sehingga tidak cocok untuk menjadi hakim agung," kata Dimas.
Rekomendasikan
Sementara itu, Dimas menambahkan, Koalisi juga sudah memegang beberapa calon yang direkomendasikan, yaitu Sunarto yang berlatar belakang sebagai hakim perdata dan tidak memiliki catatan buruk. Lalu Suhadi dan Rahmi Mulyati, yang keduanya juga merupakan hakim karir.
"Calon hakim agung yang kami rekomedasikan rata-rata berasal dari internal Mahkamah Agung (MA) dan merupakan hakim karir. Kalau yang diluar hakim karir, kami tidak melihat ada nama-nama yang memiliki kredibilitas bagus," tambah Dimas.
Sedangkan beberapa nama calon hakim agung yang belum diketahui rekam jejaknya, lanjut Dimas, tidak direkomendasikan oleh Koalisi.
"Selain itu, kami atas nama Koalisi juga akan mengajukan masukan terkait seleksi calon hakim agung," ujar Dimas yang menambahkan proses seleksi calon hakim agung ini penting untuk mendukung pembaharuan di tubuh MA.
Dimas menyebutkan ada dua hal yang akan diajukan Koalisi kepada Komisi III DPR terkait seleksi calon hakim agung. Pertama, Komisi III DPR harus mempertimbangkan soal kebutuhan MA.
Saat ini, MA telah memiliki kebijakan soal "sistem kamar "yang artinya ada spesialisasi hakim untuk perkara-perkara sesuai keahliannya. Pembagian "kamar" atau bidang yang dimaksud adalah kamar pidana, perdata, militer, agama, dan tata usaha negara.
"Sehingga DPR harus mempertimbangkan berapa jumlah hakim pidana, berapa jumlah yang dibutuhkan dan berapa jumlah hakim perdata, berapa jumlah yang dibutuhkan juga, dan seterusnya," jelas Dimas.
Koalisi juga mendesak agar DPR mendahulukan hakim pidana dan perdata karena hampir 80 persen kasus yang terjadi seputar kasus pidana dan perdata, tambah Dimas.
Masukan yang kedua, lanjut dia, Koalisi mengharapkan DPR tidak meloloskan hakim dengan latar belakang peradilan agama, karena kasus yang terjadi selama ini hanya dibawah 10 persen.
Pada Kamis (15/9) 18 nama yang akan mengikuti seleksi calon hakim agung telah mengikuti proses pembuatan makalah dan pengambilan nomor urut.
Hasil tes pembuatan makalah ini nantinya akan menjadi bagian dari rangkaian uji kelayakan dan kepatutan dalam bentuk tanya jawab. Tanya jawab akan diadakan pada tanggal 20 September 2011.
Nama 18 calon hakim agung yang diserahkan ke DPR berdasarkan peringkat nilai adalah: (1) Husnaini H (karier), (2) Andi Samsan Nganro (karier), (3) Made Rawa Aryawan (karier), (4) Syafrinaldi (non karier), (5) Sunarto (karier), (6) Rahmi Mulyati (karier), (7) Burhan Dahlan (karier), (8) Hary Djatmiko (non karier), (9) Dewi Kania Sugiharti (non karier), (10) Muh Daming Sunusi (karier).
Selanjutnya (11) Nurul Elmiyah (non karier), (12) Heru Mulyono Ilwan (karier), (13) Gayus Lumbuun (non karir), (14) Suhadi (karier), (15) Moh Yamin Awie (karier), (16) Dudu Duswara Machmudin (non karier), (17) Taqwaddin (non karier), (18) Iing R Sodikin (non karier).
(SDP-06/A011)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011