Sanaa (ANTARA News) - Pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah demonstran anti-pemerintah di Sanaa, Minggu, menewaskan sedikitnya 26 orang dan mencederai ratusan lainnya setelah menembakkan mortir ke rumah seorang pemimpin suku oposisi yang berpengaruh.
Petugas medis mengatakan, 26 orang tewas dan lebih dari 500 cedera akibat tembakan-tembakan peluru amunisi, pentungan serta gas air mata.
"Duapuluh-enam orang tewas malam ini," kata Tarek Nooman, seorang dokter di sebuah rumah sakit di Lapangan Perubahan Sanaa, pusat protes anti-pemerintah, kepada AFP.
Mohammed al-Abani, seorang dokter di rumah sakit lapangan yang lain, mengatakan, 500 orang terluka dalam insiden itu.
Menurut beberapa saksi, pasukan keamanan dan warga sipil bersenjata melepaskan tembakan ke puluhan ribu pemrotes yang meninggalkan Lapangan Perubahan, dimana mereka berkemah sejak Februari untuk menuntut perubahan rejim, dan berpawai ke arah pusat kota.
Meriam air dan gas air mata juga digunakan oleh aparat, kata mereka.
Seorang petugas medis mengatakan, 25 dari mereka yang cedera akibat tembakan peluru berada dalam keadaan kritis.
Termasuk diantara mereka adalah seorang angota Dewan Nasional Yaman, dan seorang anggota terkenal partai oposisi Islamis Al-Islah.
Petugas medis itu mengidentifikasi mereka sebagai Mohammed al-Dhaheri, seorang guru besar ilmu politik di Universitas Sanaa, dan Ahmed al-Qumairi.
Komite Pemberontakan Pemuda di Sanaa menekankan bahwa aksi mereka bersifat "damai" dan akan tetap damai, dan mendesak penduduk Yaman keluar rumah siang malam hingga rejim runtuh.
Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan lebih dari 300 orang.
Presiden Ali Abdullah Saleh berada di sebuah rumah sakit di Arab Saudi sejak Juni setelah ia cedera dalam serangan bom terhadap istananya di Sanaa, namun ia menolak menyerahkan kekuasaan kepada wakil presiden.
Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaeda, kehilangan dukungan AS.
Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.
Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.
Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaeda akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011