Di tengah kenaikan harga crude oil, maka langkah-langkah yang dilakukan Pertamina, termasuk efisiensi patut mendapat apresiasi
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan efisiensi ketat yang dilakukan PT Pertamina (Persero) dalam menyikapi lonjakan harga minyak dunia merupakan hal yang positif.
Menurut dia, efisiensi memang harus dimaksimalkan untuk menekan biaya produksi dan potensi kerugian BUMN tersebut.
"Dalam kondisi sekarang, di mana Pertamina belum menyesuaikan beberapa harga produk BBM, di tengah kenaikan harga crude oil, maka langkah-langkah yang dilakukan Pertamina, termasuk efisiensi patut mendapat apresiasi,” katanya di Jakarta, Senin.
Langkah-langkah tersebut antara lain ketika Pertamina terus melakukan efisiensi secara menyeluruh di semua aspek bisnis, dari hulu sampai hilir, melakukan reformasi business model dan operating model termasuk prioritasi investasi dan strategi optimasi kas internal, optimalisasi digital transformation dan new ways of working.
Selain itu, tambahnya, juga terkait upaya Pertamina dalam menekan biaya produksi BBM dalam negeri dimana perusahaan memaksimalkan penggunaan minyak mentah domestik dan dan mengoptimalkan penggunaan gas alam untuk penghematan biaya energi.
Termasuk paralel, ketika dilakukan juga peningkatan produksi kilang untuk produk yang bernilai tinggi.
Namun demikian, menurut Fabby, bahwa efisiensi juga ada batasnya, terlebih saat ini, ketika harga minyak dunia terus melambung yang membuat BUMN energi itu mendapat tekanan berat.
Terkait tekanan tersebut, dia menjelaskan, bahwa dengan harga minyak dunia berkisar antara 100 hingga 200 dolar AS per barel, maka harga penyediaan bahan bakar minyak sekitar Rp11.500-13.000 per liter.
Padahal, saat ini Pertalite dijual seharga Rp7.650 per liter dan Pertamax dijual Rp9.000, belum mengalami kenaikan sejak tiga tahun terakhir.
"Jadi dengan harga BBM sekarang, sangat jauh di bawah biaya penyediaan BBM Pertamina," kata Fabby dalam keterangannya.
Untuk itulah, dia menyarankan efisiensi juga dibarengi dengan kebijakan lain, misalnya dengan melakukan penyesuaian harga.
"Kebijakan ini perlu dilakukan. Jika, tidak maka Pemerintah perlu memberikan subsidi atau kompensasi. Apalagi saya perkirakan, harga minyak akan terus tinggi, di atas 90 dolar AS per barel hingga pertengahan tahun ini. Kalau benar demikian, tentu beban Pertamina akan semakin berat,” lanjutnya.
Fabby menambahkan 50 persen penjualan BBM Pertamina berasal dari Pertalite, sehingga kebijakan Pertamina sebelumnya yang sudah menaikkan harga BBM nonpenugasan, yaitu Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite, memang sudah sewajarnya.
Sebelumnya, Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga (PPN), selaku Subholding Commercial and Trading Pertamina, Irto Ginting mengungkapkan, harga minyak mentah dunia yang terus melambung telah menekan keuangan Pertamina.
"Tentunya, kenaikan harga minyak ini memberikan tekanan bagi kami di hilir," katanya.
Pertamina juga menyatakan terus memonitor perkembangan global serta mengkaji kemungkinan penyesuaian harga Pertamax. Sedangkan untuk Pertalite sebagai BBM yang dikonsumsi masyarakat banyak, dipastikan tidak mengalami perubahan.
Baca juga: Guru Besar UGM: BBM oktan rendah ganggu kinerja mesin kendaraan
Baca juga: Masyarakat kalangan mampu diimbau gunakan Pertamax
Baca juga: Pemerintah diminta tetapkan Pertalite sebagai BBM penugasan
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022