Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum Badan Usaha Milik Negara (LBH BUMN) menyatakan kasus pengadilan terhadap mantan Direktur Utama Bank Mandiri, ECW Nelloe, membuat para direksi BUMN takut berinovasi dan mengambil risiko, padahal kedua hal itu sangat berperan bagi kemajuan suatu bisnis. "Tanpa keberanian mengambil risiko, pengembangan bisnis tidak mungkin dilakukan. Tapi kalau perusahaan rugi lantas direksinya dijerat pasal korupsi, para direksi tentu akan cari selamat, meski risikonya perusahaan akan stagnan," kata Direktur LBH BUMN, FX Arief Poyuono, di Jakarta, Kamis. Arief menegaskan pihaknya sangat mendukung gerakan pemberantasan korupsi yang dilancarkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun hendaknya dalam pemberantasan korupsi prinsip-prinsip dasar dari proses penegakan hukum juga harus bisa diterapkan secara konsekuen dan konsisten. Prinsip-prinsip dasar itu pertama adalah asas universalitas, bahwa hukum itu berlaku sama untuk setiap orang, tanpa kecuali. Tidak ada unsur primordial, unsur pertemanan, apalagi warna kulit. Siapa saja yang melakukan korupsi harus menjalani proses hukum. "Kasus BLBI kasat mata merugikan negara triliunan rupiah, tapi bagaimana para pelakunya diperlakukan pemerintah? Mereka bagai tamu terhormat," katanya. Kedua adalah asas "predictability", yakni setiap kasus yang diangkat bisa diperkirakan hasilnya oleh masyarakat, apakah orang itu bersalah atau tidak bersalah. "Jangan seperti sekarang, orang yang tidak salah bisa menjadi bersalah, sementara orang yang jelas-jelas salah, malah dinyatakan tidak bersalah," katanya. Ketiga adalah asas yurisprudensi. Meskipun hakim di Indonesia mempunyai hak untuk menginterpretasikan hukum, namun tidak berarti hakim boleh secara bebas mutlak melakukannya, sehingga bisa dihindarkan terjadinya vonis berbeda untuk kasus yang sama. Dikatakannya upaya pemberantasan korupsi tidaklah mungkin hanya diterapkan dari sisi legal formal semata. Ada faktor lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan, yakni rasa keadilan, yang oleh sebagian masyarakat dianggap sudah tidak ada. "Karena asas universalitas yang tidak diterapkan secara konsekuen, maka dengan mudah orang merasa bahwa hukum tidak adil. Mengapa si A yang harus dijadikan tersangka, tidak si B? Mengapa si C diberikan kelonggaran dan keringanan, sementara si D tidak mendapatkannya?" katanya. Terkait tuntutan 20 tahun penjara bagi Nelloe, LBH BUMN menilai tuntutan itu tidak berdasar. Menurut Arief, dari berbagai jenis korupsi sebenarnya tak satupun yang dapat dikenakan padanya. Menurut dia, pemberian kredit yang dilakukan Nelloe sudah sesuai dengan aturan. "Tapi kami yakin hakim mengerti sekali persoalan yang terjadi dalam dunia perbankan Indonesia yang sarat dengan kredit macet dan penyebabnya. Dalam memutuskan kasus ini kami berharap hakim tidak hanya berpijak pada UU Anti Korupsi, tapi juga melihat UU Perbankan dan sistim auditing yang berlaku di Indonesia," katanya. Ditanya tentang sikap LBH BUMN yang mendukung Nelloe, Arief menyatakan Nelloe hanyalah kasuistik, kepedulian LBH BUMN lebih pada keberlangsungan dan perkembangan BUMN karena menyangkut kesejahteraan karyawannya. "Jika BUMN tak berkembang karena direksinya ketakutan dalam menjalankan bisnis, maka ujung-ujungnya juga berdampak pada kesejahteraan karyawan," kata Arief yang juga Ketua Umum Forum Pegawai Merpati itu. (*)
Copyright © ANTARA 2006