Smart Agricultural Enterprise kedelai dari hulu hingga hilir berbasis penerapan iptek kepada masyarakat usaha tani, pemerintah dan industri ini sebagai solusi atas permasalahan ketergantungan impor kedelai.

Bantul (ANTARA) -
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian mengembangkan Program Smart Agricultural Enterprise dari hulu sampai hilir pada komoditas kedelai (SAE Kedelai) di Desa Selopamioro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Smart Agricultural Enterprise Kedelai dari hulu hingga hilir berbasis penerapan iptek kepada masyarakat usaha tani, pemerintah dan industri ini sebagai solusi atas permasalahan ketergantungan impor kedelai," kata Penanggung Jawab Kegiatan Penelitian sekaligus Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM Eni Harmayani di sela panen raya kedelai di Bantul, Senin.

Menurut dia, kedelai merupakan sumber protein nabati yang menyehatkan, juga dikenal murah dan terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tetapi produksi kedelai dalam negeri hanya dapat memenuhi 10 persen dari kebutuhan kedelai nasional saat ini.

Baca juga: Kementan dorong petani tingkatkan kualitas kedelai, kurangi impor

Sejarah menunjukkan produksi kedelai nasional tertinggi pernah dicapai sebesar 1,87 juta ton pada 1991 sampai 1992, namun setelah itu makin menurun.

"Penurunan produksi tersebut menjadikan Indonesia semakin jauh dari swasembada kedelai. Ketergantungan pada impor kedelai untuk pemenuhan kebutuhan nasional, berdampak seperti kondisi saat ini, harga kedelai mengalami kenaikan menyesuaikan dengan kondisi perdagangan dunia," katanya.

Permasalahan agroindustri kedelai antara lain skala usaha tani kedelai yang kurang ekonomis, kelembagaan usaha tani yang masih lemah, harga pokok produksi yang tinggi, kurang efisien, dan tidak kompetitif.

"Kelompok petani masih belum menerapkan pola intensifikasi dan kelembagaan usaha tani yang masih parsial, tidak efisien dalam pengelolaan budidaya kedelai yang dapat berujung pada hasil panen yang kurang optimal dan tidak terjamin mutu dan kualitas hasil panen," katanya.

Baca juga: Indonesia perlu alternatif pengganti kedelai untuk tempe

Sementara itu, Koordinator Pelaksana Penelitian SAE kedelai Atris Suyantohadi mengatakan, pengembangan tersebut bersinergi dengan Dinas Pertanian Pangan Bantul, Industri Off Taker Kedelai, dan mitra kelompok petani Desa Selopamioro, dalam penguatan program pentahelix antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri

Tim periset Fakultas Teknologi Pertanian UGM mengembangkan Platform Monitoring Cuaca dan Iklim pada budidaya kedelai, intensifikasi regeneratif farming untuk peningkatan kualitas mutu benih kedelai, program traceability farming, peningkatan sarana-prasarana pascapanen dan inovasi pengolahan kedelai berupa produksi tempe hemat air.

"Melalui Program SAE Kedelai telah berhasil memproduksi benih kedelai dengan kualitas yang memenuhi standar pengujian dari Badan Sertifikasi dan Pengawasan Benih (BPSB) DIY, peningkatan produktivitas hasil panen kedelai yang mencapai 2,4 ton per hektare," katanya.

Dia mengatakan, penerapan hasil penelitian peralatan smart farming kedelai dalam bentuk piranti Field Monitoring System (FMS) di lahan secara realtime, bantuan peralatan sarana alat ukur tanaman, peralatan pascapanen 'mobile power traser' sangat membantu kelompok petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen.

"Program SAE Kedelai dapat meningkatkan kemitraan usaha tani yang saling menguatkan, sehingga akan terwujud peningkatan produksi kedelai nasional menuju kemandirian dan kedaulatan pangan melalui komoditas kedelai sesuai dengan harapan dan cita-cita masyarakat," katanya.

Pewarta: Hery Sidik
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022