Jakarta (ANTARA News) - Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Polisi Sutanto menyatakan institusi Polri merupakan instrumen atau alat negara, tetapi bukan alat kekuasaan. "Rugi jika polisi menjadi alat kekuasaan. Polisi berpegang pada penegakan hukum sehingga tidak menjadi alat dari golongan atau kepentingan apa pun," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR di Jakarta, Rabu malam. Menurut dia, polisi saat ini lebih leluasa tidak ada pihak yang dapat intervensi dalam penegakan hukum di negeri ini. "Polisi ingin penegakan hukum berjalan dengan baik agar tidak 'amburadul'. Pengalaman tahun-tahun dulu penegakan hukum tidak berjalan dengan baik karena adanya intervensi dari luar," ujarnya. Ia menambahkan, jika polisi menjadi alat kekuasaan jangan harap negara bisa maju, karena aturan hukum tidak akan pernah ditaati dan ditegakkan. Sutanto menilai, keluarnya surat perintah intelijen dan keamanan (intelkam) Polda Metrojaya berkaitan dengan penyelidikan terhadap anggota dewan yang melakukan investigasi pelaksanaan impor beras. Lebih lanjut Sutanto menegaskan bahwa surat perintah intelijen dan keamanan dari Polda Metrojaya bukan sebagai bentuk intervensi dari pemegang kekuasaan. "Mabes Polri tidak ada kegiatan pengawasan terhadap anggota dewan dan itu hanya merupakan bentuk proaktif Polri untuk melakukan pengaman terhadap anggota dewan," katanya. Namun pihaknya juga akan melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan surat perintah intelijen dan keamanan dari Dirintelkam tersebut, jika kemungkinan ada yang tidak benar. Surat perintah intelijen dan keamanan terhadap anggota dewan dalam pelaksanaan impor beras sebenarnya bertujuan agar polisi tidak kecolongan dalam gangguan keamanan sehingga akan hadir dalam setiap dinamika masyarakat. Lima anggota intel Polda Metro Jaya yang mendapatkan tugas untuk memonitor investigasi anggota FPKS dan FPDI DPR RI dalam kasus impor beras itu adalah Kompol Effensi Sirait, Brigadir Edi Prebuan, Brigadir Zaenal, Briptu Ekhan Windiarto dan Bripda Yuliono. Surat tugas yang itu berlaku mulai 30 Januari hingga 5 Pebruari 2006.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006