"Alokasi dana di surat utang negara sangat atraktif karena dengan tingkat bunga yang tinggi saat ini, maka imbal hasil yang ditawarkan juga tinggi," kata Ferry.

Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Bank Internasional Indonesia (BII) Ferry Latuhihin mengingatkan adanya kemungkinan penguatan rupiah saat ini karena faktor permainan uang (money game), bukan karena penguatan fundamental ekonomi. "Tidak ada fundamental ekonomi yang menguat, tapi kemungkinan ini adalah karena money game melalui kurs dan bond (obligasi)," kata Ferry ketika menyampaikan "Report: Yearly Outlook 2006", hasil Tim Riset Ekonomi BII di Jakarta, Rabu. Ia menyebutkan bahwa dengan kondisi saat ini, di saat suku bunga tinggi, tidak tertutup kemungkinan investor mengalokasikan dana valasnya ke surat utang negara atau obligasi pemerintah. "Alokasi dana di surat utang negara sangat atraktif karena dengan tingkat bunga yang tinggi saat ini, maka imbal hasil yang ditawarkan juga tinggi," kata Ferry. Menurut dia, alokasi dana valuta asing oleh investor yang juga menarik perhatian pemilik valas saat inilah yang mendorong adanya penguatan rupiah cukup signifikan dalam beberapa waktu terakhir. "Ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk mengambil keuntungan dari perdagangan obligasi negara," katanya. Namun ia mengingatkan bahwa pemilik valas akan mulai menarik dana valasnya memasuki bulan Oktober karena bersamaan dengan itu diperkirakan suku bunga akan kembali turun mengikuti perkiraan laju inflasi yang diperkirakan juga turun mencapai satu digit. "Saat ini mereka melakukan aksi profit taking profit dan pada Oktober nanti mereka akan good bye to out. Mereka akan mengalokasikan dananya ke negara lain yang memberi keuntungan mungkin Vietnam, Jepang, Thailand atau lainnya," katanya. Menurut dia, dengan kondisi Rupiah saat ini yang sudah menguat, seharusnya langkah yang harus dilakukan Bank Indonesia (BI) adalah kembali menurunkan giro wajib minimum (GWM) bagi bank. "Kebijakan GWM tidak tepat untuk merespon rupiah yang saat itu melemah, karena itu GWM harus segera diturunkan. GWM merupakan kebijakan yang ditujukan untuk mencegah perekonomian mengalami over heating (kepanasan)," katanya. Menurut dia, BI harus menurunkan GWM agar bukan pasar yang justru berbuat merespon nilai tukar rupiah yang mulai menguat. "Tapi sepertinya BI masih takut melakukan itu sehingga yang keluar justru Paket Januari (Pakjan) yang antara lain meminta bank-bank intensif menyalurkan kredit kepada UMKM, padahal tidak semua bank memiliki jaringan kredit ke UMKM," katanya. Mengenai kondisi nilai tukar selama 2006, Tim Riset Ekonomi BII memperkirakan hingga akhir tahun nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS akan mencapai sekitar Rp9.914 per dolar AS. Angka itu lebih besar dibanding realisasi 2005 sebesar sekitar Rp9.830 selama 2005. Perkiraan kurs 2006 oleh Tim Riset Ekonomi BII itu juga sedikit lebih tinggi daripada asumsi di APBN 2006 yang mencapai Rp9.900 per dolar AS.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006