Bogor, (ANTARA News) - Ruang terbuka hijau di Jakarta kini hanya tinggal 13 persen, dan hal ini disebabkan terlalu banyaknya ruang konkret, seperti bangunan perkantoran, industri dan sebagainya.
"Dengan minimnya ruang terbuka hijau itu, jika dilihat dalam keseimbangan udara, maka Jakarta bisa disebut juga sebagai `heat Island` (daerah panas). Pasalnya, banyak penyebab yang dapat menimbulkan panas, seperti perindustrian, gedung kaca, aspal, dan sebagainya," kata Direktur Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Ir Ernan Rustiadi, di Bogor, Selasa (7/2).
Meski mengalami kondisi seperti itu, kata dia, Jakarta masih sangat didukung oleh kawasan sekelilingnya yang masih memiliki ruang hijau yang lebih luas, seperti Bogor yang masih memiliki ruang hijau, dimana secara tidak langsung Jakarta mendapatkan manfaatnya.
Namun, ia menegaskan, pada kenyataannya saat ini seolah-olah daerah yang memiliki ruang hijau bertanggung jawab memelihara hutan, sementara Jakarta menuai untung.
Padahal, menurut dia, dalam prinsip ekologis wilayah, harus ada prinsip "cost", "benefit", "risk", dan "sharing" yang harus ditanggung bersama secara adil, baik oleh kawasan hulu maupun hilir.
Sayangnya, sampai kini belum ada mekanisme yang mengatur hal tersebut, karena koordinasi antarwilayah yang otonom itu di sekeliling Jakarta tidak atau belum ada.
Sedangkan untuk kasus banjir yang selama ini menjadi momok tiap tahunnya, dalam analisa Ernan Rustiadi, ada dua faktor ekologi penyebabnya.
Pertama DAS (daerah alirang sungai) di kawasan hulu rusak dan kedua, DAS hilir seperti kantong-kantong penampungan air sudah hilang.
"Seharusnya, secara ekologis, DAS di hulu bisa menyerap air, sementara DAS dihilir bisa menampung air dari hulu," katanya.
Akan tetapi, dalam kenyataanya saat ini banyak DAS di hilir yang beralih fungsi menjadi gedung dan pemukiman, sehingga yang seharusnya berfungsi menyimpan dan menyerap air tidak terjadi.
"Pada dasarnya kerusakan DAS itu bisa diukur dengan menghitung selisih debit air pada musim hujan dan kemarau. Jika selisihnya kian hari semakin besar maka kerusakan DAS tersebut kian bertambah parah," katanya.
Menurut dia, selisih debit air pada saat maksimum dan minimun itu menunjukkan fungsi kerusakan penggunaaan lahan pada suatu kawasan, seperti yang diteliti mahasiswa S-3 bimbingannya di kawasan aliran sungai Ciliwung di daerah Cisarua, Bogor.
Selain itu , juga ditambah dengan bertambahnya pemukiman, hilangnya hutan dan berkurangnnya lahan pertanian, sehingga kondisi lingkungan makin tertekan.
Ia menjelaskan, penelitian yang dilakukan mahasiswanya itu memiliki pengaruh yang nyata, dimana pemukiman yang berkembang saat ini bukan hanya sekedar luasnya, tapi pola penyebaranya tidak sesuai dengan aturan tata ruang yang ada.
"Menurut aturan tata ruang, pemukiman di kawasan hulu tidak boleh saling berdekatan akan tetapai dibuat berpencar. Ini dimaksudkan supaya air tertahan dan ada kesempatan untuk istirahat dan meresap, jika tidak ada kesempatan itu akan mengakibatkan banjir," katanya.
Ia mengatakan, mestinya BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) Jabotabek selaku wadah koordinasi wilayah koordinasi di Jabotabek pada level provinsi inilah yang mengatur banjir dan mengkoordinasikan permasalahan lainnya seperti transportasi, pajak, jaringan jalan, menempatkan terminal dan sebagainya di Jabotabek.
"Pada kenyataanya BKSP Jabotabek belum berfungsi sebagaimana mestinya, dan masih berkutat pada tata batas wilayah saja," kata Ernan Rustiadi.(*)
Copyright © ANTARA 2006