Denpasar (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof DR Jimly Asshiddiqie SH, menilai bahwa pelaksanaan demokrasi di Republik Indonesia masih memiliki cacat bawaan.
"Cacat, dalam artian praktik demokrasi masih mengedepankan sisi kuantitas dan bukan pada kualitas," katanya dalam diskusi yang digelar Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bali di Denpasar, Sabtu.
Akibatnya, kata guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) tersebut, yang kebanyakan bertarung dalam pemilu hanya orang-orang dari golongan penguasa dan pengusaha.
"Guna mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat, bukannya mencari para pemikir, tapi siapa yang terkenal dan populer serta berduit, itulah yang akan diusung oleh partai politik," ujarnya.
Biaya demokrasi pun, kata dia, menjadi sangat mahal sehingga posisi kekuasaan umumnya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya. Celakanya lagi, ada calon dalam pilkada justru berani mengeluarkan uang sepuluh kali lipat lebih besar daripada pendapatan daerahnya.
"Di sisi lain, bangsa ini juga menjadi korban ketiadaan kaderisasi selama 32 tahun Orde Baru. Akhirnya, yang muncul orangnya itu-itu saja akibat ketiadaan stok kader yang handal. Cara cepatnya juga menggandeng artis agar tak sulit mengenalkan kepada masyarakat," katanya.
Ia mengatakan, pelembagaan politik yang tidak sempurna, bukan saja terletak pada para kader partai. Parpol di Indonesia masih bersifat sangat oligarkis karena banyak keputusan harus menunggu keputusan pimpinan partai induk di pusat.
"Permasalahan demokrasi dan pemilu juga terletak di tataran regulasi. UU berubah-ubah, seringkali terjadi tarik ulur dan perubahan regulasi yang waktunya sangat mepet dengan masa pencontrengan," ujarnya.
Jimly pun menyebut, UU parpol yang ada belum mampu menjadikannya sebagai lembaga politik yang profesional.
Dengan kondisi seperti itu, lanjut dia, diperlukan peranan penyelenggara pemilu dan pilkada yang profesional. "KPU harus independen, siap mental dan netral, ujarnya.
Ia menambahkan, sekali KPU tidak profesional hal itu akan semakin merusak demokrasi. Hasil pemilihan menjadi tidak dipercaya masyarakat. "Intinya, KPU jangan sampai berisiko menyebabkan pemilu tidak mendapatkan kepercayaan publik," ucapnya.
Dia menambahkan, agar dapat terlahir pemimpin yang berkualitas barangkali bisa digagas masyarakatlah yang mengajukan atau "menjual" tokoh yang benar-benar diakui profesionalitasnya pada parpol.
(T.KR-LHS/M026)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011