Jakarta (ANTARA News) - Dunia memang sudah demikian cepat berubah, termasuk dunia media, terutama setelah multimedia menjadi platform umum bagaimana informasi mesti disampaikan kepada publik.

Tiba-tiba semua beralih ke multiplatform. Ada yang menerebas ke semua lini, ada yang mengambil langkah terukur dan tertata. Dan salah satu yang tertata melangkah adalah Grup Kompas Gramedia.

Jumat malam tadi, grup media terkemuka nasional ini meluncurkan Kompas TV.

Tak tanggung-tanggung, dalam acara bertajuk "Simfoni Semesta Raya", segerbong artis dibawanya untuk mengenalkan Kompas TV kepada publik, mulai dari pembawa acara Darius Sinatrya, sampai musisi papan atas seperti Erwin Gutawa.

Namun, sejak jauh-jauh hari, Kompas TV, mengutip CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, mendaulat dirinya bukan lembaga penyiaran, melainkan penyedia konten produksi Kelompok Gramedia.

Konten-konten video ini lalu ditayangkan kepada publik oleh TV-TV daerah yang menjadi mitra kerjasama Kompas.

Fungsi ini sekilas mirip fungsi yang juga dijalankan kantor-kantor berita, seperti Reuters, AFP dan Associated Press. Beberapa tahun terakhir, kantor berita LKBN ANTARA juga berusaha berperan menjadi penyedia konten video, tapi Kompas agaknya lebih serius lagi mewujudkan posisi itu.

Kompas dapat menjadi wahana media baru dalam mana konten-konten segar dihadirkan kepada masyarakat.

Diantara konten-konten itu adalah acara petualangan bertajuk Teroka yang mengangkat ekspedisi Kompas di gunung-gunung berapi di seantero Nusantara, ilmu pengetahuan yang dikemas menarik lewat 'science is fun,' kampung main, acara musik, bincang-bincang, dan banyak lagi.

Yang menarik --dan ini mesti beroleh apresiasi luas publik-- adalah obsesi Kompas TV dalam mempromosikan kekayaan alam, budaya dan sosial negeri ini.

Tagline-nya pun Indonesia sekali, yaitu "Inspirasi Indonesia."

Sadar bahwa negeri ini kaya, namun tak banyak orang yang menyaksikan dan merasakannya, Kompas TV berusaha memisualkannya sehingga siapapun bisa menyadari betapa banyak hal positif yang bisa disajikan ke negeri ini, ketimbang misalnya tayangan-tayangan miskin nilai yang selama ini mendominasi televisi.

Direktur Kompas TV Bimo Setiawan mengatakan, mereka menekankan pada eksplorasi Indonesia, baik kekayaan alam, khazanah budaya, Indonesia kini, maupun talenta berprestasi. Tema-tema positif yang semestinya hadir di rumah-rumah keluarga-keluarga Indonesia.

"Pesona Indonesia tak pernah habis untuk digali oleh anak cucu warisan budaya dan keindahan yang terpapar menjadi modal pembangunan," kata pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama pada peluncuran Kompas TV, melalui rekaman video di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat malam tadi.

Jakob melanjutkan, "Kita tak bisa berdiam diri, agar menjadi inspirasi bagi bangsa. Berbagai gejolak banyak terjadi di negeri ini, tapi Indonesia tidak goyah untuk menatap masa depan untuk pembaruan."

Di acara itu, hadir sederet artis termasuk komedian Tukul Arwana, para pejabat diantaranya Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Gubernur DKI Fauzi Bowo, para bos media massa termasuk Arif Suditomo dan Putra Nababan dari RCTI, akademisi, dan anggota DPR itu.

Dari sisi videografi dan tema, konten-konten video Kompas TV memang mengasyikan untuk dilihat, bisa memberi alternatif kepada publik, terutama di daerah-daerah.

Banyak tawaran-tawaran inovatif yang dikenalkan penyedia konten video baru di tanah air ini, contohnya "stand up comedy" asuhan Pandji Pragiwaksono, talkshow "Bigbaz" yang dipandu wartawan senior Budiarto Shambazy, program berita Kompas 100 yang diasuh Timothy Marbun yang mantan awak Metro TV.

Ada juga konten-konten yang jarang ditemui di televisi pada umumnya, seperti ulasan dunia fotografi "klik Arbain Rambey" yang diasuh pewarta foto senior Arbain Rambey dan acara rohani yang diulas khas berjudul "Islam Nusantara."

Jelas ini hasil dari sebuah upaya sangat serius, melalui kajian dan diskusi intensif, eksperimen dan pengenalan mendalam atas dunia yang diinginkan satu lembaga media untuk bisa dinikmati publiknya.

Selamat untuk Kompas TV dan kepionirannya. (*)

Oleh Yudha Pratama
Copyright © ANTARA 2011