Ia mencontohkan, perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, terlebih daerah kepulauan yang mana proses pemeriksaan dan persidangannya harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi guna menyidangkan perkara tindak pidana korupsi yang hanya berskala relatif kecil, sehingga biaya operasional yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kerugian negara yang hendak diselamatkan.
“Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan, bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat,” kata Burhanuddin saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik bertema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 juta Perlu dipenjara?” yang dipantau melalui zoom meeting di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Peneliti ICJR ingatkan korupsi di bawah Rp50 juta tetap harus dipidana
Kejaksaan Agung berupaya agar tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian kecil diterapkan dengan keadilan restoratif. Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 ini adalah regulasi pertama di bawah undang-undang yang menerapkan prinsip restorative justice.
Ia menyebutkan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.
“Setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja. Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia,” ujarnya.
Menurut dia, tindak pidana korupsi yang pada dasarnya adalah kejahatan finansial, sehingga penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya mempergunakan instrumen finansial.
Adapun pendekatan instrumen finansial yang telah dilakukan selama ini antara lain mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset, pemiskinan koruptor dengan melakukan perampasan aset koruptor melalui asset tracing guna pemulihan kerugian keuangan negara, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan, tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal.
Kemudian, melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
Baca juga: Jaksa Agung: Menghukum mati koruptor adalah manifestasi pemberantasan
Melalui pendekatan instrumen finansial, lanjut Burhanuddin, maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi perlu mempertimbangkan beban ekonomi negara untuk biaya proses penegakan hukum, termasuk biaya hidup dan pembinaan narapidana pascaputusan inkracht.
“Hal ini selaras dengan teori economisc analysis of law yang saat ini mulai berkembang,” ujarnya.
Teori ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan proses penegakan hukum secara efisien maka harus mempertimbangkan nasionalitas perhitungan biaya penanganan tindak pidana korupsi dari mulai penyelidikan hingga pelaksanaan putusan inkracht sehingga negara tidak mengalami peningkatan jumlah kehilangan keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan pelaku, akan bertambah dengan biaya-biaya penanganan perkara yang dilakukan aparat penegak hukum.
Teori ini, kata Burhanuddin, sejalan dengan konsep keadilan restoratif dalam mewujudkan sistem peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan yang dapat menghemat anggaran.
“Dengan memperhitungkan anggaran secara cermat secara cermat maka aparat penegak hukum dapat lebih fokus kepada perkara korupsi yang besar, yang membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit,” ujarnya.
Terkait tindak pidana korupsi yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kerugian yang relatif kecil, misalnya di bawah Rp50 juta, Burhanuddin mengatakan patut menjadi bahan diskursus bersama, apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain.
“Misalnya tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar atau pungli dengan nilai Rp2,2 juta. Apakah perkara pungli tersebut harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi? ini kan jadi suatu pertanyaan untuk kita,” ujarnya.
Lebih dalam ia mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum justru dapat menurun karena kualitas penanganan perkara yang dilakukan hanya berada di “level ikan teri” dan dianggap aparat penegak hukum tidak mampu untuk melawan para koruptor dalam skala big fish.
Hal lain yang perlu dipahami, lanjut dia, adalah menyamakan kasus korupsi Rp50 juta dengan pencurian Rp5 juta. Dua kasus ini tidaklah sama atau tidak apple to apple. Kasus korupsi adalah tindak pidana khusus yang memiliki mekanisme yang lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi, serta pihak yang dirugikan adalah negara.
Ia pun mengatakan pada dasarnya negara sebagai korban memiliki kapasitas menghukum pelaku yaitu dengan menggunakan mekanisme atau instrumen lain di luar sanksi penjara, tentunya suatu instrumen yang memiliki kaidah keadilan, namun bersifat ekonomis karena negara justru rugi lebih banyak jika harus menghukum pelaku hingga masuk ke penjara.
“Jika ini tetap dipaksakan, masyarakat secara tidak langsung akan menjadi korban sekunder, karena uang negara yang seharusnya dapat disalurkan ke kesejahteraan masyarakat dapat terkuras habis hanya untuk perkara korupsi level ikan teri,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin menambahkan, penjatuhan sanksi pidana, khususnya penjara bukanlah upaya balas dendam, melainkan proses edukasi pemasyarakatan dan penjeraan yang bertujuan agar pelaku menyadari kesalahan atas perbuatannya, sehingga penjatuhan pidana adalah upaya terakhir.
Sanksi pidana tidak harus selalu berupa penjara. Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi “kelas ikan teri” tersebut, misalnya dengan sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu, atau perampasan barang.
Kejaksaan juga dapat memberikan rekomendasi kepada para pemangku kepentingan terkait untuk memberikan sanksi administrasi kepegawaian, misalnya penundaan pangkat hingga pemecatan. Di samping itu, bagi pihak swasta dapat dilakukan pembekuan, pembubaran, atau black list sehingga tidak dapat lagi mengikuti pengadaan barang dan jasa milik negara.
“Menjatuhkan sanksi pidana secara tepat dan sesuai porsi adalah langkah bijak dalam mengayunkan pedang keadilan,” kata Burhanuddin.
Baca juga: Jaksa Agung RI: Perlu kaji ulang frasa "pengulangan tindak pidana"
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022