Mogadishu (ANTARA News) - Para pemimpin Somalia membuka sebuah konferensi rekonsiliasi nasional di ibu kota negara itu, Mogadishu, Minggu, dengan tujuan menyusun masa depan setelah kegagalan pemerintah transisi yang didukung PBB.
"Kita berada di sini untuk membahas masa depan negara kita setelah berakhirnya masa transisi," kata Presiden Sharif Sheikh Ahmed dalam pidato pembukaan pada konferensi itu, yang diadakan dengan penjagaan keamanan yang ketat, lapor AFP.
Fokus utama pertemuan itu adalah mengakhiri pemerintahan sementara tujuh tahun yang gagal mencapai tujuan utama rekonsiliasi negara, menyusun konstitusi baru dan melaksanakan pemilihan umum.
Sharif mengatakan bahwa konferensi sponsoran PBB itu, yang diikuti para pemimpin dari negara yang dilanda perang itu, termasuk dari daerah Puntland yang memisahkan diri dan wilayah-wilayah semi-otonomi lain, "membuka jalan" bagi masa pasca transisi.
"Ini hari bersejarah dan saya berharap perundingan kita akan menghasilkan gagasan-gagasan terpercaya yang bisa mengakhiri kesulitan-kesulitan Somalia," kata Sharif.
Namun, baik Somaliland yang memisahkan diri pada 1991 maupun gerilyawan Al-Shabaab yang bersumpah menggulingkan pemerintah tidak terwakili pada pertemuan itu.
Pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika ditempatkan di sekitar lokasi pertemuan di kota itu, yang belum lama ini ditinggalkan gerilyawan Al-Shabaab yang berusaha menggulingkan Pemerintah Transisi Federal yang didukung PBB.
Pasukan pemerintah yang didukung 9.000 prajurit misi penjaga perdamaian Uni Afrika (AMISOM) mengumumkan kemenangan penting atas Al-Shabaab yang menarik diri dari Mogadishu pada 6 Agustus, namun kelompok yang terkait dengan Al-Qaida itu mengklaim penarikan tersebut hanya langkah taktis dan mereka masih menguasai sebagian besar Somalia tengah dan selatan.
Situasi keamanan masih tetap rawan di Mogadishu, dimana seorang kamerawan Malaysia tewas Jumat ketika ia merekam misi kemanusiaan.
Somalia kini dilanda kelaparan parah akibat kekeringan terburuk yang terjadi negara itu, dan PBB telah mengumumkan Mogadishu dan empat wilayah Somalia selatan sebagai zona kelaparan serta memperingatkan bahwa kelaparan bisa meluas ke seluruh penjuru negara itu.
Kondisi itu diperumit oleh bentrokan-bentrokan yang terus terjadi antara pasukan Somalia serta Uni Afrika sekutunya dan gerilyawan Al-Shabaab.
Bentrokan-bentrokan itu berlangsung ketika badan-badan bantuan internasional berusaha mencari cara untuk menyerahkan bantuan makanan kepada penduduk yang tinggal di kawasan yang dilanda kelaparan, khususnya daerah-daerah Somalia selatan yang dikuasai kelompok Al-Shabaab yang terkait dengan Al-Qaida.
Badan-badan bantuan menarik diri dari Somalia selatan pada awal 2010 setelah ancaman terhadap staf mereka dan aturan semakin keras yang diberlakukan terhadap aktivitas mereka oleh Al-Shabaab, yang dimasukkan ke dalam daftar kelompok teror oleh Washington.
Militan pada Juli mengatakan, kelompok bantuan asing bisa kembali lagi ke wilayah itu, namun seorang juru bicara Al-Shabaab mengatakan kemudian bahwa larangan operasi terhadap mereka masih tetap diberlakukan.
Al-Shabaab mengobarkan perang selama empat tahun ini dalam upaya menumbangkan pemerintah sementara Somalia dukungan PBB yang hanya menguasai sejumlah wilayah di Mogadishu.
Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Selain perompakan, penculikan dan kekerasan mematikan juga melanda negara tersebut. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011