Sleman (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai penetapan status tersangka kepada mantan panitera Mahkamah Konstitusi Zaenal Arifin Hosein dalam kasus surat palsu polisi sangat aneh.
"Dalam proses penyidikan kasus surat palsu, baik DPR, Polisi maupun MK sendiri sama-sama mendapatkan fakta baru. Yang menjadi tanda tanya, kenapa polisi justru menetapkan Husein yang tanda tangannya dipalsukan itu sebagai tersangka," katanya di sela "open house" di kediaman pribadinya di Sambilegi Baru, Depok, Sleman, Yogyakarta, Minggu.
Menurut dia, dalam surat yang tidak benar itu, tanda tangan Husein hanya di "scan saja" dan bukan tanda tangan dengan tinta sehingga itu bukan tanda tangan asli yang dibubuhkan yang bersangkutan.
"Ada dua surat dimana yang satu palsu dan satunya lagi benar, surat yang palsu ialah tertanggal 14 Agustus 2009 nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tentang penetapan caleg Partai Hanura Dewi Yasin Limpo sebagai pemenang DPR RI Dapil I Sulawesi Selatan. Sedangkan surat yang benar tertanggal 17 Agustus 2009," katanya.
Ia mengatakan, ke dua surat tersebut diserahkan ke KPU oleh komisioner MK, padahal Mansuri Hasan sudah memberitahukan ke Andi Nurpati jika surat yang tertanggal 14 itu tidak benar dan yang benar ialah yang tertanggal 17.
"Namun dalam rekonstruksi, Komisioner MK yang menyerahkan surat ke KPU maupun Andi Nurpati justru membacakan surat tertanggal 14 Agustus 2009 yang palsu. Padahal, yang bersangkutan memiliki surat MK yang benar alias tertanggal 17 Agustus 2009. Ada rekamannya dalam rekonstruksi itu," katanya.
Mahfud mengatakan, atas dasar itu maka dirinya heran dan merasa aneh kenapa Zaenal yang dijadikan tersangka. Padahal orang yang membacakan surat palsu tersebut tidak diapa-apakan.
"Namun saya menyerahkan penilaian kepada masyarakat. Masyarakat memiliki pemahaman sendiri atas logika yang dibangun Polisi. Dalam kasus ini, MK sama sekali tidak rugi. Justru bangsa dan penegakan hukum yang mengalami kerugian atas logika Polisi," katanya.
Ia mengatakan, kasus ini bukan hanya pasal pemalsuan, melainkan juga pasal penggelapan. "Jadi ada dua pasal yang seharusnya didalami," katanya.
(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011