Palembang (ANTARA) - Setiap operasi pasar digelar di Palembang, Sumatera Selatan, selalu diserbu masyarakat.
Warga rela mengantre hingga berjam-jam untuk mendapatkan jatah dua liter minyak goreng kemasan, atau beberapa liter jenis curah.
Namun, ada fenomena yang menarik, bahwa ternyata tidak semua warga yang ikut antre tersebut tidak memiliki persediaan minyak goreng di rumahnya.
Lisa, warga setempat yang dijumpai dalam operasi pasar (OP) di Pasar Alang-Alang Lebar, Sabtu (5/2/22), mengaku masih memiliki dua liter minyak goreng yang dibelinya pada operasi pasar di tempat lain dua hari lalu.
“Takut, isunya minyak goreng bakal mutus (kosong), jadi saya ikut beli lagi di OP ini,” kata Lisa.
Bagi Lisa, ia perlu menyimpan minyak goreng sebagai persediaan karena khawatir bakal kesulitan untuk mendapatkannya. Apalagi, kelangkaan minyak goreng ini sudah terjadi sejak pertengahan Februari lalu.
Ibu rumah tangga ini memburu minyak goreng di operasi pasar karena harga sesuai dengan ketentuan pemerintah berdasarkan Harga Eceran Tertinggi yakni Rp13.500 per liter untuk jenis kemasan sederhana.
Sementara jika membeli di warung sekitar rumahnya, Lisa harus merogoh kocek Rp21.000 hingga Rp22.000 per liter karena pedagang beralasan barang sedang langka.
Selisih harga yang tinggi ini juga yang melatari Elma, warga Kecamatan Alang-Alang Lebar memburu minyak goreng jenis curah di operasi pasar tersebut.
Sejak pukul 08.00 WIB, ia sudah mengantre untuk mendapatkan minyak goreng jenis curah dengan harga Rp11.500 per liter. Ia sempat resah karena antrean terus mengular sementara minyak goreng belum juga didapatkan walau waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 WIB. Rupanya, berselang satu jam kemudian, ia baru mendapatkan satu jeriken (volume lima liter) minyak goreng jenis curah.
“Saya bukan pedagang makanan, ini untuk pakai sendiri. Saya terpaksa langsung beli banyak karena takut minyak goreng benar-benar kosong. Saat ini susah, di pasar tak ada, di Alfamart dan Indomaret apalagi, selalu kosong,” kata dia.
Ia mengakui minyak goreng yang diperolehnya dalam OP ini sebanyak lima liter telah melebihi kebutuhan untuk satu bulan ke depan. Bersama suami dan dua anaknya, sebenarnya Elma hanya membutuhkan sekitar tiga liter minyak per bulan.
“Tapi, jika ada OP lagi saya mau ikut lagi, buat jaga-jaga,” kata dia.
Baca juga: Pemerintah salurkan 1,2 miliar liter minyak goreng mulai pekan ini
Baca juga: Mendag: OP Gula Dilaksanakan karena Impor Terlambat
Panic Buying
Tindakan yang dilakukan masyarakat untuk tetap ikut antri pada setiap operasi pasar, sesungguhnya sudah disadari oleh para pemangku kepentingan minyak goreng.
Beli panik atau “panic buying” ini diduga menjadi penyebab minyak goreng dalam hitungan jam sudah ludes terjual di setiap kegiatan OP di Palembang.
Padahal Pemerintah Provinsi Sumsel bekerja sama dengan sejumlah produsen minyak goreng sudah menyediakan 7 ton minyak goreng kemasan sederhana dan 7 ton minyak goreng jenis curah pada OP di Pasar Alang-Alang Lebar itu.
Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan Didid Noordiatmoko memastikan saat ini produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan dalam negeri sehingga kelangkaan terhadap produk tersebut seharusnya bisa teratasi paling lambat pada akhir Maret 2022.
“Persediaan sebenarnya tersedia. Selisih kebutuhan ini sudah mendekati normal. Akhir bulan ini secara teoritis sudah cukup,” kata Didid.
Produsen minyak goreng di Sumatera Selatan bahkan sudah memproduksi mendekati kebutuhan di daerah ini, jika pun terdapat selisih diperkirakan hanya 10 persen.
Berlarut-larutnya kelangkaan minyak goreng, lantaran kompleksnya persoalan dari hulu hingga ke hilir.
Pemerintah secara bertahap menyelesaikan persoalan produksi hingga distribusi minyak goreng, sehingga dapat diperoleh dengan mudah dengan harga yang terjangkau di masyarakat.
Akan tetapi, muncul persoalan baru yang merupakan dampak dari kenaikan harga dan kelangkaan barang yakni “panic buying”.
Lantaran sempat kesulitan mendapatkan minyak goreng dengan harga yang terjangkau membuat masyarakat membeli melebih kebutuhan ketika mendapatkan kesempatan.
Padahal, hasil riset menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan. Artinya, kini banyak rumah tangga menstok minyak goreng. “Tapi ini baru terindikasi,” kata dia.
Sembari menunggu stabilnya antara permintaan dan ketersediaan barang ini, pemerintah akan menggelar OP di setiap kabupaten/kota di Sumsel mulai pekan depan.
Dalam OP ini masyarakat dapat membeli minyak goreng dengan harga sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET), untuk minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter dan minyak curah Rp11.500 per liter yang sudah ditetapkan sejak 1 Februari 2022.
Head Unit PT Sinar Alam Permai Simon Panjaitan mengatakan selaku produsen minyak goreng merek Fortune, Sania dan Sofia, pihaknya dalam posisi sulit saat ini mengingat harga bahan baku (minyak sawit) terus naik di pasar internasional, sementara di sisi lain diminta pemerintah untuk menjual dengan harga murah ke masyarakat.
Saat ini, perusahaannya memproduksi 10 ribu ton minyak goreng per bulan atau belum kembali seperti produksi di saat normal yakni rata-rata 13 ribu ton per bulan. Produksi itu untuk memenuhi kebutuhan konsumen di wilayah Sumatera Bagian Selatan meliputi Sumsel, Lampung, Jambi, Bengkulu dan Bangka Belitung.
Menurutnya, semua pihak harus peduli terhadap persoalan ini, termasuk masyarakat yang diharapkan tidak “panic buying” agar kelangkaan tidak terus terjadi.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan dalam sebuah seminar mengatakan harga minyak goreng dalam proses stabilisasi dengan penerapan kebijakan baru yakni domestic market obligation (DMO) yaitu mewajibkan untuk memenuhi pasar dalam negeri dan domestic price obligation (DPO) atau mewajibkan memenuhi harga eceran tertinggi (HET) minyak di pasar.
Selama ini produsen minyak goreng dalam negeri membeli CPO sebagai bahan baku minyak nabati dengan harga global.
Ini lantaran, masih sangat sedikit produsen minyak goreng yang terintegrasi langsung atau memiliki lahan kebun kelapa sawitnya sendiri.
Dikarenakan harga minyak nabati dunia yang terus melonjak sejak tahun lalu, turut berpengaruh pada kenaikan harga minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng.
Pemerintah sebelumnya menerapkan HET minyak goreng di dalam negeri sebesar Rp14.000 per liter. Namun, para produsen CPO lebih memilih mengekspor hasil kebunnya ke luar negeri lantaran harga CPO global yang sedang tinggi ketimbang menjualnya sebagai minyak goreng dalam negeri yang harganya dibatasi.
Oleh karena itu, pemerintah menerapkan DMO yaitu para eksportir CPO harus mengalokasikan 20 persen dari total volume ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri.
Selanjutnya untuk harga jual CPO di dalam negeri yaitu DPO, pemerintah menerapkan harga tertinggi CPO sebesar Rp9.500 per kg atau dalam bentuk minyak Rp10.300 per kg. Dengan begitu harga minyak goreng menjadi paling tinggi Rp14.000 per liter di pasar.
Baca juga: Ombudsman: dua pekan terakhir "panic buying" minyak goreng berkurang
Baca juga: LaNyalla: Pemerintah perlu pikirkan skema distribusi minyak goreng
Jamin pasokan
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto yang turut menyaksikan kegiatan operasi pasar tersebut mengatakan pemerintah mengupayakan pasokan minyak goreng ini berkesinambungan di masyarakat untuk mengatasi kelangkaan.
OP pun gencar dilaksanakan di setiap daerah Tanah Air dengan menggandeng para produsen minyak goreng, sembari terus mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dilalukan agar menemukan solusi terbaik.
Melalui kebijakan DMO dan DPO tersebut diharapkan kebutuhan minyak sawit dalam negeri yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng akan terpenuhi.
Masyarakat pun diharapkan dapat membeli dengan harga sesuai HET yakni Rp14.000 per liter (kemasan premium) dan Rp13.500 per liter (kemasan sederhana) dan Rp11.500 per liter (curah) yang ditetapkan pemerintah per 1 Februari 2022.
Sekretaris Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Irwan Syahmasri mengatakan sejak penetapan HET oleh pemerintah per 1 Februari 2022 diharapkan harus sejalan dengan lancarnya pasokan kepada pedagang.
Operasi pasar dinilai hanya sementara, namun yang terpenting bagaimana caranya agar minyak goreng jenis kemasan dan curah ini sampai ke pedagang agar bisa disalurkan ke masyarakat.
Jika distribusi sudah berjalan normal, ia menjamin para pedagang akan menjual dengan harga sesuai ketentuan pemerintah.
Namun, di tengah situasi ini tak disangkal ada pedagang ‘nakal’ yang memanfaatkan situasi kelangkaan ini dengan tetap menjual minyak goreng di atas HET.
Padahal, pedagang ini sudah mendapatkan pasokan minyak goreng dari distributor yang sudah menerapkan harga baru.
Kepala Dinas Perdagangan Sumsel Ahmad Rizali mengatakan, dalam situasi seperti ini pedagang juga harus jujur. Jangan berdalih masih memiliki stok lama sehingga menjual harga di atas HET.
“Stok lama, saya yakin sudah habis. Pedagang harus sportif juga, jangan barang baru dibilang barang lama,” kata Rizali.
Saat ini terdapat kekurangan produksi sekitar 5 juta liter dari kebutuhan masyarakat Sumsel.
Jika produksi kembali normal, terutama dari produsen minyak goreng lokal yakni PT SAP dan PT Indokarya Internusa maka dipastikan kelangkaan tidak akan terjadi.
Setidaknya sudah 100 ton minyak goreng dilepas ke masyarakat Sumsel dalam OP dan kegiatan ini akan terus dilakukan hingga keadaan kembali normal.
Kelangkaan ini harus terus diatasi dengan meningkatkan produksi dan mengawasi distribusinya, sehingga mulai April 2022 ada jaminan bahwa pasokan minyak goreng aman memenuhi permintaan masyarakat dengan harga sesuai HET.
Tentunya semua pihak berharap kelangkaan minyak goreng ini tidak berlarut-larut sehingga tidak membebani masyarakat di tengah tren kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya menjelang Ramadan.
Baca juga: Mendag minta eksportir siapkan minyak goreng murahBaca juga: Mendag Luthfi pastikan stok minyak goreng aman saat Ramadhan
Baca juga: Mendag sebut kelangkaan minyak goreng di Sumut karena distribusi
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022