Mempunyai nama besar kembali ke Papua rasanya tidak bebas. Dimana omongan dari orang sekitar mengenai kita terkadang buruk, sehingga saya tidak pernah mengaku diri sebagai mantan atlet

Siapa yang tidak mengenal sosok Timotius Sokai Ndiken (48). Anak Merauke, kelahiran 21 Juli 1965 yang pernah merebut medali emas pada SEA Games 1991 di Manila dan 1995 di Thailand untuk dasalomba, dan memegang rekor nasional lempar lembing.

Timotius Ndiken merupakan salah satu mantan atlet lempar lembing nasional asal Papua yang berhasil mengharumkan nama bangsa dan negara. Siapa sangka kini berprofesi sebagai guru olah raga di SDN III Abepura, Jayapura.

Pada 1993, Timotius juga pernah memegang rekor SEA Games di Singapore untuk dasa lomba. Dan pada tahun sebelumnya juga menjuarai kejuaraan terbuka di negara yang sama untuk lempar lembing.

"Pada saat itu, saya bersaing dengan beberapa atlet Papua yang memiliki segudang pengalaman. Saat itu kami cukup ditakuti atlet dari negara lain. Tentu ini sangat membanggakan kami secara pribadi," kata Timotius saat ditemui ANTARA di rumahnya Jalan Buper Perum Pemda Permai Blok B No.4 Waena, Jayapura, Jumat.

Dia mengatakan, potensi yang dimiliki dirinya untuk meraih prestasi gemilang sudah didapat semasa kecil. Di mana sewaktu sekolah sudah terbiasa menombak babi dengan menggunakan sebatang kayu yang sangat berat, sehingga apa yang dilakukan selama menjadi atlet sudah menjadi hal biasa.

"Menombak sudah menjadi kebiasaan kami sejak kecil, karena itu dilakukan secara turun temurun. Apalagi ditambah dengan permainan lompat dengan sebatang bambu hingga terlontar tinggi," ujarnya.

Dia juga mengakui, tidak sedikit prestasi yang berhasil di raih diperoleh dengan latihan sendiri. Di mana pada usia 18 tahun dirinya sudah mampu melempar sejauh 62 meter.

Kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan oleh Timotius Ndiken. Namun di rumah dinas dengan type 36, medali dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh tidak terlihat terpajang satupun sebagai hiasan dinding.

"Semua medali dan piagam ada di tas, sudah tidak terurus dan kotor. Sekarang ini psikologis saya sudah sedikit menurun. Awalnya tadinya mempunyai nama besar kembali ke Papua rasanya tidak bebas. Dimana omongan dari orang sekitar mengenai kita terkadang buruk, sehingga saya tidak pernah mengaku diri sebagai mantan atlet," tutur pria kelahiran 21 Juli 1965 itu.

Timotius Sokai Ndiken memulai kariernya di dunia olah raga pada 1983. Dimana pada waktu itu ia mewakili Merauke di kejuaraan pelajar daerah se-Papua dan nasional untuk lempar lembing, dan berhasil keluar sebagai juara.

Melihat keberhasilan itu, Timotius memutuskan untuk mengembangkan prestasi dengan memilih hijrah ke Jayapura dan bersekolah di Sekolah Guru Olahraga (SGO).

Pada 1984, Timotius dipercayakan untuk mengikuTI Kajuaraan Daerah, dan berhasil meraih prestasi untuk lempar lembing, dan terpilih untuk mengikuti TC Pra-PON.

Dengan umur yang masih sangat muda, ujarnya, yang awalnya melempar untuk 53 meter, hanya dalam kurun waktu dua bulan sudah mampu melempar untuk 62 meter.

"Selama mengikuit PON yakni, sejak 1985 hingga 1990-an, saya sudah mempersembahkan medali emas untuk dasalomba bagi Papua. Dari situlah saya dipanggil untuk mengikuti Pelatnas di Jakarta," ujarnya.

Selama mengikuti Pelatnas, Timotius sudah enam kali dipercayakan untuk mewakili Indonesia di SEA Games, yakni 1985 di Bangkok, 1987 Jakarta, 1989 di Kuala Lumpur, 1991 Manila, 1993 Singapore, dan 1995 Chiang Mai.

Pada SEA Games 1991 dan 1995, ia meraih medali emas. Sedangkan 1993 di Singapore raih medali perak untuk dasa lomba, Perunggu untuk lempar lembing, sekaligus meraih rekor SEA Games untuk dasalomba.

"Saya memutuskan untuk keluar dari Pelatnas pada tahun 1997, karena tidak pernah mendapat pelatih yang bisa menyelesaikan problem atlet. Pada waktu itu saya memilih untuk melatih sendiri dengan membeli kaset video khusus nomor-nomor teknik seharga Rp30 ribu. dari situ saya bisa berkembang dan meraih prestasi meskipun tidak sependapat dengan pelatih," katanya.


Menjadi Seorang Guru
Setelah memutuskan pensiun, kehidupan Timotius menjadi sangat sederhana. Untuk menyambung hidup, dia memutuskan untuk menjadi seorang guru olah raga dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas P dan P Kota Jayapura.

Bersama istrinya yang juga berprofesi sebagai guru olah raga, Timotius menjalani keseharian di rumah dinas yang agak sedikit tidak terawat.

"Gaji seorang guru tu berapa sih mas, yang ada habis hanya untuk menyekolahkan anak-anak dan makan sehari-hari. Tapi inilah hidup yang harus dijalani," Katanya.

Menanggapi hal itu, seharusnya sebagai mantan atlet yang pernah memiliki prestasi internasional, sudah selayaknya mendapat perhatian dan penghargaan dari pemerintah.

"Saya sebagai mantan atlet yang pernah memiliki prestasi sangat kecewa dibiarkan begini oleh pemerintah pusat. Seharusnya perhatian dan penghargaan itu ada untuk kami," tandas Timotius dengan nada kecewa.

Menanggapi hal itu, Timotius berharap agar pemerintah pusat melalui Kementerian Pemuda dan Olah Raga bisa mengembalikan pandangan negatif soal profesi atlet. Pasalnya saat ini banyak orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi atlet karena berfikir mau dapat apa setelah pensiun nanti.

Selain itu, pemerintah juga harus lebih serius dengan olah raga. Artinya motivasi itu harus ada, di mana jika seorang mantan atlet berprestasi berprofesi sebagai PNS, ya, segeralah mempromosikan dia jabatan atau kenaikan pangkat.

Dengan melakukan itu, Timotius yakin setiap mantan atlet tidak akan teriak menuntut tunjangan dan sebagainya.

Untuk itu, sebelum melakukan hal besar, pemerintah harus melihat hal-hal kecil terlebih dulu.

"Motivasi pemerintah harus jelas, di mana harus meyakinkan seorang atlet bahwa kedepan itu ada harapan yang sangat jelas. Saya harap pemerintah bisa melihat kembali nasip mantan-mantan atlet berprestasi," kata Timotius.

Kendati sudah 14 tahun pensiun sebagai atlet, Timotius masih memiliki niat untuk kembali menekuni olahraga yang pernah membesarkan namanya itu.

"Kalau ada kesempatan, saya ingin menjadi pelatih. Karena kehadiran pelatih yang merupakan mantan atlet dan memiliki prestasi tentu akan lebih meyakinkan sekaligus memacu anak didik untuk berprestasi," kata Timotius.

Oleh Alexander W. Loen
Copyright © ANTARA 2011