Jika ada orang yang membawa barang yang tidak berkenan untuk dimasukkan ke dalam pura, puluhan kera tersebut akan datang menyerbu,"
Karangasem (ANTARA News)- Ribuan `pemedek` atau umat Hindu dari berbagai daerah di Pulau Dewata,  mendaki lereng selatan Bukit Cemeng, Desa Telengan, Kabupaten Karangasem, guna melakukan persembahyangan bersama, Selasa.

Wartawan Antaranews.com dari Desa Telengan melaporkan, sembahyang bersama berkenaan dengan `piodalan` atau ritual enam bulanan itu, dilakukan umat di Pura Pucak Sari yang berlokasi persis di bagian puncak bukit setinggi kurang lebih 1.500 meter di atas permukaan laut.

Untuk bisa sampai ke bagian puncak bukit yang nyaris tak pernah sirna dari `selimut` kabut, umat harus menempuh jalan setapak sejauh kurang lebih tujuh kilometer.

Jalur yang sesungguhnya tidak tergolong jauh itu, harus ditempuh umat antara tiga sampai 3,5 jam. Masalahnya, jalan setapak satu-satunya yang harus dilalui `pemedek`, rata-rata memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat, bahkan di beberapa lokasi nyaris tegak lurus.

Jro Mangku Komang Wenten, tokoh spiritual desa setempat mengatakan, aneka tumbuhan yang berderet di bibir jurang, ternyata telah berfungsi ganda, yakni selain sebagai `pagar` bagi jalan setapak, juga peredam hembusan angin yang sering bertiup kencang.

"Cukup banyaknya tumbuhan telah mengurangi daya tiup angin yang tidak jarang bisa menghempaskan tubuh seseorang yang tengah melintas di jalanan yang terjal itu," ujarnya.

Meski demikian, kata dia, sejauh ini belum ada `pemedek` yang sampai terperosok jatuh ke jurang saat melintas di jalan setapak dengan `seabreg` kesulitan medannya tersebut.

Menurut Mertha, wilayah tersebut selain tergolong keramat hingga banyak dimanfaatkan untuk aktivitas spriritual, juga tidak sedikit ditemukan keganjilan.

Keganjilan tidak hanya ada beberapa bangungan pura yang tidak bisa diabadikan gambarnya dengan kamera apa pun, tetapi juga kawasan itu dijaga oleh sekelompok kera liar.

"Jika ada orang yang membawa barang yang tidak berkenan untuk dimasukkan ke dalam pura, puluhan kera tersebut akan datang menyerbu," ucapnya.

Sebagai contoh, bagian atap beberapa bangunan bale-bale di pura yang biasa menggunakan anyaman ijuk, pernah diganti warga dengan atap genteng. "Apa akibatnya? Begitu bangunan tersebut usai diberi atap, esok paginya semua genteng telah kembali berada di atas permukaan tanah. Uniknya, tak ada satu genteng pun yang pecah," ujarnya, mengenang peristiwa belasan tahun silam.

Pada `piodalan` siang itu, ribuan `pemedek` tampak khusuk melakukan persembahyangan di bawah sinar matahari yang tampak malu-malu akibat tebalnya gumpalan kabut yang turun tak kunjung putus.
(P004)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011