Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 selain mentransformasi suatu organisasi dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di dalamnya, juga ajang pembuktian bahwa organisasi dan pekerja dapat melalui tekanan dengan beradaptasi, pivot atau melakukan perubahan strategi, serta memiliki kemampuan bertahan.

“Akan tetapi pada era yang terus berubah ini, bertahan saja tidak cukup. Maka suatu organisasi harus 'thrive' atau berkembang ke depannya,” ujar Direktur Deloitte Consulting Nancy Paat Sitompul dalam webinar FHCI “The Future of Work After Pandemic Era”, beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan berdasarkan riset yang dilakukan selama dua tahun terakhir, ada organisasi yang sudah menerapkan pola pikir “thrive” atau terus berkembang.

Suatu organisasi dikatakan terus berkembang yakni organisasi yang 2,2 kali lebih cepat melihat peluang. Kebutuhan bisnisnya, dua kali lebih cepat menggunakan teknologi dalam transformasi pekerjaan, dua kali lebih cepat dalam melihat pentingnya mengorganisasi pekerjaan untuk dapat mengambil keputusan yang cepat, dan tiga kali lebih siap untuk beradaptasi dari para pekerjanya dan melakukan mobilitas.

“Organisasi yang memiliki pola pikir yang terus berkembang tersebut memiliki tujuan, potensi dan juga perspektif,” terang dia.

Organisasi perlu mengubah pola pikir dari bertahan ke berkembang selama dan pascapandemi COVID-19. Pada pola pikir bertahan, melihat disrupsi sebagai krisis namun pada saat yang sama bisa kembali menjalankan bisnis seperti biasa. Sementara itu, pada pola pikir berkembang, dapat berdamai dan menyadari bahwa krisis tersebut sebagai upaya untuk terus melakukan perbaikan.

Kuncinya adalah bagaimana menjadikan organisasi tersebut sebagai social enterprise, yang mana fokusnya pada manusia. Pandemi menjadikan organisasi memiliki peran dalam prinsip kemanusiaan seperti etika, keadilan, berkembang, renjana, transparansi, dan lainnya.

Dia juga menjelaskan ada lima tren agar suatu organisasi dapat berpindah dari pola pikir bertahan ke berkembang.

Baca juga: Wamen BUMN apresiasi capaian transformasi digital PLN

Pertama adanya rancangan pekerjaan untuk kesejahteraan. Pada masa pandemi, sangat penting sebagai praktisi SDM untuk dapat mengombinasikan fisik, mental, keuangan, dan sosial ke dalam desain pekerjaan tersebut.

Kedua, adalah peningkatan kapasitas. Dalam hal ini melihat potensi dan preferensi pekerjaan dari pekerja supaya bisa menggerakkan pembelajaran, kemampuan adaptasi, dan dampak.

Ketiga adalah tim super, yakni membentuk tim dan tim super yang bisa menggunakan teknologi dalam meningkatkan cara dalam bekerja.

Keempat adalah tata kelola strategi pekerja. Dalam hal ini bagaimana praktisi SDM dalam menggunakan data riil untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan potensi pekerja.

Sedangkan terakhir adalah memo pada praktisi SDM yakni perubahan peran praktisi SDM dari standardisasi dan penegakan kebijakan menjadi perekayasa ulang atas pekerjaan di seluruh perusahaan.

Bantuan Aplikasi

Dunia kerja pascapandemi COVID-19 mengalami perubahan. Pekerja tidak lagi memiliki keharusan untuk berangkat ke kantor setiap harinya dan bisa melakukan pekerjaannya dari mana saja.

Kondisi itu tidak hanya menguntungkan pekerja tetapi juga suatu organisasi.

Baca juga: KKP Ketapang berlakukan penggunaan eHAC di bandara mulai hari ini

Executive Vice President General Affair PT PLN (Persero), Arsyadany Ghana, mengatakan pihaknya mengembangkan suatu platform layanan yang dibutuhkan guna menunjang proses bisnis dan fasilitas, serta layanan pegawai.

“Kami memiliki layanan Aplikasi Management Surat (AMS) Korporat sehingga seluruh layanan surat-menyurat dikelola di dalamnya. Kami juga masih mengembangkan fiturnya dengan menambahkan fitur pengadaan, kebutuhan transformasi, perjalanan dinas, ATK (Alat Tulis Kantor), fasilitas kesehatan, dan lainnya. Itu semua tergabung dalam sistem yang aplikasi yang terbuka yang tergabung dalam sistem digital, sehingga dapat dikembangkan terus ke depannya,” kata dia.

Aplikasi itu sebenarnya sudah direncanakan sejak 2019. Namun, penerapannya sendiri baru dimulai pada 2021 seiring dengan pandemi COVID-19.Pihaknya menargetkan pada 2023 seluruh layanan sudah berbasis digital.

Dengan adanya inovasi aplikasi, PLN juga menginisiasi Flexible Remote Working yang memungkinkan pekerja untuk dapat melakukan dan menyelesaikan pekerjaan dari mana saja. Skema tersebut dilakukan dengan bantuan aplikasi yang sudah dikembangkan oleh PLN.

Untuk presensi menggunakan PLN Daily, untuk nota dinas menggunakan AMS, komunikasi dengan telekonferensi maupun aplikasi pesan, penyimpanan dokumen dengan NAS atau E-Arsip, dan kolaborasi ruang pertemuan dengan E-meeting.

Sementara itu, untuk modelnya sendiri terbagi empat, yakni sebagian besar di lapangan atau kantor dengan pekerjaan jarak jauh namun terbatas, 100 persen di lapangan atau kantor, 100 persen pekerjaan jarak jauh, dan sebagian besar jarak jauh namun bisa sewaktu-waktu ke lapangan atau kantor.

Penerapan Flexible Remote Working tersebut juga menguntungkan karena disisi lain dapat menghemat sejumlah biaya, di antaranya pemakaian perkakas dan peralatan, biaya listrik, air dan gas, pos dan telekomunikasi, bahan makanan dan konsumsi, sewa gedung, alat dan keperluan kantor, dan gedung serta pemeliharaan halaman.

“Kalau bicara Flexible Remote Working itu formatnya bisa WFH (Work from Home), bisa WFO (Work from Office), bisa bauran disesuaikan dengan kondisi yang ada. Penekanannya lebih pada output yang berorientasi pada peningkatan produktivitas yang didukung teknologi. Perubahan cara kerja, paradigma, pola pikir yang akan mengubah manajemen perubahan yang pada akhirnya akan memengaruhi budaya perusahaan,” terang Arsya.

Pandemi COVID-19 nyatanya benar-benar telah mengubah suatu organisasi dalam menjalankan bisnis serta menata ulang bagaimana mengelola sumber daya ada.

Baca juga: Polisi gunakan penyidikan berbasis ilmiah ungkap dugaan pidana Binomo
Baca juga: BRI Sekuritas rilis aplikasi sistem perdagangan daring terbaru
Baca juga: Aplikasi pendidikan berbasis digital tingkatkan kemampuan SDM

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022