modal berharga bagi periset untuk mengembangkan vaksin lain

Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 memang mendatangkan malapetaka bagi dunia termasuk Indonesia. Begitu banyak korban jiwa yang meninggal akibat terinfeksi COVID-19, diiringi beban kesehatan yang meningkat dan pergerakan ekonomi yang melemah.

Namun di sisi lain, pandemi COVID-19 membawa pembelajaran penting yang mencatatkan suatu tonggak sejarah Indonesia, yakni dimulainya pengembangan vaksin secara mandiri.

Sebelum pandemi COVID-19 terjadi, Indonesia belum pernah mengembangkan vaksin sendiri mulai dari nol, yakni yang formula bibit vaksinnya dikembangkan sendiri oleh para periset dalam negeri dan dilakukan di Tanah Air.

Pandemi COVID-19 justru menjadi momentum untuk Indonesia bergerak dan mulai mencetak sejarah baru untuk menciptakan vaksin sendiri yang akan mendorong kemandirian bangsa Indonesia dalam memenuhi kebutuhan vaksin COVID-19.

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan populasi yang banyak, yang saat ini sekitar 270 juta jiwa. Tentu angka itu tergolong besar, dan jumlah vaksin yang dibutuhkan untuk seluruh masyarakat Indonesia juga begitu banyak.

Dengan suntikan dua dosis vaksin, maka diperlukan 540 juta dosis untuk seluruh penduduk Indonesia. Belum lagi ditambah dosis penguat (booster). Hingga Rabu (3/3), sebanyak 54,15 persen dari 270 juta populasi Indonesia mendapatkan dua dosis vaksin COVID-19. Semua vaksin yang digunakan saat ini berasal dari luar negeri.

Sulit jika sepenuhnya bergantung pada suplai dari luar negeri, sementara jumlah produsen vaksin COVID-19 hanya sebagian kecil dibanding jumlah keseluruhan penduduk dunia yang membutuhkan vaksin. Ini mempengaruhi akses, keadilan, dan kecepatan memvaksinasi di antara negara-negara di dunia.

Alhasil, terjadi ketimpangan besar antara kemampuan dunia memenuhi kebutuhan vaksin COVID-19 untuk seluruh masyarakat global karena produsen vaksin masih sangat terbatas. Akses terhadap vaksin COVID-19 juga masih terbatas dan belum merata di antara negara-negara dunia, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah.

Sementara pemberian vaksin COVID-19 tidak dapat menunggu waktu lebih lama di tengah pandemi yang masih melanda karena nyawa masyarakat menjadi taruhannya.

Apalagi, ditambah kekhawatiran bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 terus bermutasi, yang berpotensi menciptakan varian yang mampu menghindar dari beberapa perlindungan kekebalan yang tercipta usai vaksinasi. Dan yang paling dikhawatirkan adalah jika muncul varian yang kebal terhadap perlindungan vaksin.

Untuk itu, vaksin COVID-19 harus lebih cepat disuntikkan ke masyarakat di tengah laju virus yang bermutasi dengan cepat. Vaksin COVID-19 dibutuhkan untuk mengembangkan kekebalan tubuh seseorang pada virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Meskipun, hingga saat ini, belum ada satupun vaksin yang bisa menciptakan kekebalan penuh atau permanen terhadap virus corona penyebab COVID-19, namun imunitas yang ditimbulkan mampu memperkuat antibodi dalam tubuh untuk melawan serangan infeksi virus sehingga seseorang diharapkan tidak jatuh pada kondisi berat atau kritis yang meningkatkan peluang berisiko kematian.

Oleh karenanya, Indonesia mulai mengembangkan vaksin sendiri, agar dapat mengurangi ketergantungan dengan pihak luar, dan setidaknya vaksin yang tercipta nantinya dapat memenuhi kebutuhan vaksin dalam negeri.

Kini sebanyak tujuh tim dalam negeri mengembangkan vaksin COVID-19, yang tergabung dalam konsorsium nasional untuk pengembangan vaksin Merah Putih.

Tujuh tim tersebut adalah Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, eks Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dan eks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Eijkman dan LIPI sudah terintegrasi ke BRIN sejak 2021.

Pelaksana Tugas Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Iman Hidayat mengatakan masing-masing tim mengembangkan vaksin Merah Putih dengan metode yang berbeda, mulai dari vaksin yang berbasis inaktivasi virus sampai vaksin yang berbasis rekombinan protein.

Namun, progres yang paling cepat datang dari Universitas Airlangga, yang bekerja sama dengan PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia.

Saat ini, vaksin Merah Putih yang bibit vaksinnya dikembangkan Universitas Airlangga sedang menjalani proses uji klinis fase 1 dengan melakukan penyuntikan vaksin kepada 90 relawan berusia minimal 18 tahun.

Sementara itu, tim-tim lain masih berada di tahap optimasi yield antigen, dan sebagian sedang melakukan uji praklinis.

Vaksin COVID-19 sangat diperlukan baik untuk penggunaan vaksinasi awal maupun untuk vaksin penguat. Vaksin penguat diperlukan karena kekebalan tubuh yang timbul usai vaksinasi COVID-19 tidak bertahan selamanya, sehingga lambat laun akan menurun. Agar imunitas tetap terjaga, maka dibutuhkan vaksinasi ulang.

Baca juga: Produsen harapkan vaksin Merah Putih tingkatkan efikasi psikologis

Baca juga: Kemenag serahkan sertifikat halal vaksin Merah Putih ke PT Biotish

Tantangan besar

Pengembangan vaksin Merah Putih di Indonesia menjadi suatu tantangan besar bagi para periset di Tanah Air karena selama ini belum ada yang memiliki pengalaman untuk menciptakan vaksin yang dimulai dari awal, menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.

Pengembangan vaksin sejak dari awal tersebut meliputi mulai dari pembuatan formula bibit vaksin oleh para peneliti dalam negeri dan dilakukan di Indonesia, hingga produksi vaksin dilaksanakan dalam negeri.

Namun, pandemi COVID-19 mampu mendesak semua pihak untuk membuka mata lebih luas tentang pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatkan kemampuan dan kolaborasi untuk menciptakan vaksin secara mandiri.

Kebutuhan vaksin yang mendesak dalam jumlah banyak untuk kebutuhan seluruh masyarakat di tengah pandemi COVID-19 menjadi suatu urgensi yang mendorong dunia riset dan inovasi Indonesia naik level, sehingga berani mengambil langkah dan mengalokasikan sumber daya untuk membangun kemandirian menciptakan vaksin Merah Putih.

Meski pengembangan vaksin dituntut cepat di masa pandemi COVID-19 karena kebutuhan vaksin yang mendesak, namun para periset dan pihak terkait menjalankan semua proses pengembangan vaksin sesuai dengan prosedur baku dan standar ilmiah hingga nantinya dapat memperoleh izin edar darurat (emergency use authorization) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Itu dilakukan untuk menjamin produk vaksin baik dari aspek keamanan, efikasi, maupun kualitasnya, sehingga aman dan berkhasiat saat digunakan kepada masyarakat.

Kemampuan Indonesia untuk membuat vaksin Merah Putih untuk COVID-19 akan menjadi modal besar untuk mengembangkan vaksin-vaksin lain di masa mendatang. Bahkan jika kemungkinan suatu pandemi terjadi di masa depan, Indonesia sudah lebih siap menghadapinya termasuk menyiapkan vaksin yang dibutuhkan.

"Ini menjadi salah satu modal berharga bagi periset untuk mengembangkan berbagai vaksin yang lain," ujar Handoko.

Pengembangan vaksin Merah Putih sungguh menjadi pembelajaran dan pengalaman tak ternilai untuk kemajuan riset dan inovasi Indonesia, karena menjadi investasi masa depan yang berharga dalam memperkuat kemampuan Indonesia mengembangkan vaksin secara mandiri.

Baca juga: Penerima suntikan vaksin Merah Putih akan diamati selama setahun

Baca juga: BRIN berharap hasil uji klinis fase 1 memuaskan

Baca juga: BRIN: Uji klinis fase 1 vaksin Unair, lompatan besar

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022