Desa itu juga sering dipakai sebagai simbol yang masih murni, asli, otentik, ketimbang kota yang sudah tercemar oleh asap industri
Jakarta (ANTARA News) - Karena sedang mudik di desa, saya tulis catatan yang sejatinya hampir saya buat setiap tahun, setiap saya mudik di sebuah desa di pedalaman Jawa. Dulu, sebelum saya hijrah ke kota, ke Jakarta, setiap tahun kami didatangi para pemudik. Kini, hampir tiap tahun kami datang sebagai pemudik.
Setiap tahun desa kami kehadiran rombongan orang bermobil, jauh dari sebuah kota bernama Jakarta. Dulu perasaan kami, anak-anak, inferior oleh kehadiran "orang-orang sombong" dari kota itu. Sekarang, o, betapa kami adalah bagian dari rombongan "orang-orang sombong" itu. Anak-anak, maafkanlah kami.
Struktur, infrastruktur, dan komposisi desa masih belum berubah banyak. Desa masih tampak marjinal. Di sana-sini
tampak ada kemajuan. Tetapi juga tercatat banyak kemunduran dibanding era 1980-an.
Kemajuan yang tampak adalah jalan-jalan yang rata-rata sudah beraspal. Saya, sebagai orang yang kebetulan lahir dan besar di pulau Jawa sesungguhnya malu, dengan keadaan ini: jalan-jalan kecil kami di desa sudah beraspal di mana-mana, padahal jalan-jalan di luar Jawa tak.
Kemajuan lain adalah sudah eksisnya listrik, telepon, dan sinyal telepon seluler cukup merata, sehingga saya dapat menulis tulisan ini dari sebuah tempat yang cukup tenang di pinggiran sawah desa kami. Sawah-sawah itu, alhamdulillah, sudah dapat ditanami kembali tahun ini, setelah beberapa tahun terakhir tak.
Tanah-tanah di sawah itu mungkin sudah jenuh. Para petani kami tak mau tanam selain padi. Para petugas pertanian dibikin bingung dengan tidak saja perubahan karakter tanah, tetapi juga sikap para petani yang konservatif tak mau berubah. Tapi kemudian terjadi titik temu, dan setelah Gunung Merapi meletus, indikasi kesuburan kembali terjadi. Tahun ini orangtua kami sudah bisa panen. Alhamdulillah.
Tentu, kisah-kisah putus asa merebak selama era sawah-sawah tak tertanami itu. Saya sedih mendengar cerita bahwa si A yang dulu baik, teman baik kami, dibicarakan banyak orang sebagai orang yang dianggap membahayakan.
Ia diketahui melompat pagar orang, ia gagal mencuri, dan kemudian cerita yang berkembang adalah, hal itu dilakukan karena ia sendiri tidak bekerja, sementara istrinya terjebak utang arisan.
Desa yang menggantungkan mata-pencaharian penduduknya bertani, membuat keputusasaan merebak sepanjang sawah-sawah tak tertanami lagi. Ekonomi desa tak tumbuh, daya beli merosot. Yang tak betah, segera lari ke kota.
Repotnya, kota terdekat, industrinya sudah mati puluhan tahun yang lalu. Sebuah pabrik yang berdiri kokoh sejak zaman Belanda itu tinggal kumpulan besi tua yang berkarat.
Anak-anak muda desa kami karenanya adalah kaum imigran, ke kota-kota yang jaraknya sangat jauh –walaupun desa saya itu bukan desa sumber TKI di luar negeri. Mereka hanya anak-anak muda pelaku urbanisasi.
Saya selalu respek dengan anak-anak muda yang berani hidup di desa: mereka adalah para pemberani. Mereka dapat mengatasi hidup di tengah keterbatasan –dan tidak tergoda untuk menjadi maling.
Anak-anak muda pemberani itulah yang menggairahkan kehidupan desa.
***
Hidup adalah kumpulan datang dan pergi, dan desa, tempat kita berasal adalah sarang kita dalam pepatah: sejauh-jauh atau setinggi-tinggi burung bangau terbang, balik juga ke sarangnya.
Saya tak hendak berceramah mengenai Idul Fitri. Tetapi saya kira, tradisi mudik itu juga berdimensi spiritual. Bahwa, desa atau tempat asal, sering dikaitkan dengan kampung akhirat: kampung asal kita, sebuah kampung keabadian. Kita telah berpisah jauh dengan kampung asal kita itu, dan kelak kita pasti akan kembali kepada-Nya.
Desa itu juga sering dipakai sebagai simbol yang masih murni, asli, otentik, ketimbang kota yang sudah tercemar oleh asap industri. Alam pedesaan adalah romatik, sesuatu yang tidak lagi dijumpai di kota.
Almarhum Franky Sahilatua, yang sering membawakan tema alam pedesaan dalam lagu-lagunya, menggambarkan bahwa desa itu simbol ketidakpalsuan. Kota itu penuh kepalsuan.
Meskipun demikian, desa masih dipersepsikan sebagai simbol keterbelakangan. Istilah wong ndeso atau orang desa ialah orang yang terbelakang –jauh dari sentuhan modernisasi.
Modernisasi memang sudah menyentuh desa-desa di Jawa, sejak 1970-an. Jumlah pemilik sapi penarik pedati sudah tidak ada di desa kami. Pemilik kuda penarik dokar atau andong, masih ada satu dua.
Pemilik kerbau pembajak sawah juga sudah berkurang jauh. Jumlah burung kunthul juga ikut berkurang, seiring dengan hadirnya traktor.
Pemilik sepeda motor sudah lazim. Setiap rumah sudah ada pesawat televisi. Kulkas juga sudah bukan benda mewah.
Sehingga, saya kira istilah wong ndeso itu pun maknanya sudah bergeser, bukan orang desa secara fisik, tetapi mungkin pola pikirnya yang berkonotasi terbelakang. Karenanya barangkali, banyak orang kota yang bermental wong ndeso, yang berpola pikir terbelakang.
Tetapi pemaknaan persepsional itu tetap saja kontradiktif dengan konteks wong ndeso sebagai orang-orang sederhana yang jujur dan bijak.
Inti dari tulisan ini adalah himbauan agar desa diperhatikan. Desa harus dibangun: bagaimana anak-anak muda, seperti saya, bisa betah hidup di desa –dimana desa benar-benar mampu menghidupi warganya.
Juga, bagaimana agar mereka yang bermigrasi ke kota, bisa kembali ke desa: menggerakkan Indonesia dari desa. Hmm, tapi ini hanya impian kah? Tidak, manakala kebijakan pembangunan nasional kita memberi porsi perhatian yang lebih proporsional dalam pembangunan desa.
Tidak, apabila sumberdaya terdidik dan terpelajar, khususnya bidang pertanian mau betul-betul mengabdi untuk membangun desa. Tidak, bila sarjana-sarjana berani hidup di desa dan menjadi kreatif di sana.
(***)
M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta
Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011